News - Suatu masa, ketika jalur transportasi darat masih menjadi angan-angan, Pelabuhan Cikao berdiri kokoh di Kampung Talibaju, Desa Cikaobandung, Purwakarta, Jawa Barat. Dermaga di pelabuhan ini bukan sekadar tempat bersandar perahu, tetapi nadi yang mengalirkan kehidupan bagi perdagangan di Priangan hingga pesisir Laut Jawa.

Bayangkan, di satu sisi sungai ada pasar yang ramai. Para pedagang bertukar cerita, tawar-menawar harga, sementara perahu-perahu kayu terus merapat dan berlayar kembali.

Tongkang-tongkang berseliweran mengangkut hasil bumi seperti kopi dan kapas dari pergunungan. Di seberangnya, dari laut, garam dan berbagai komoditas lain datang, mempertemukan dua dunia—gunung dan laut—dalam sebuah harmoni perdagangan.

Jalur sungai sepanjang 130 kilometer menghubungkan Pelabuhan Cikao dengan dermaga Cabangbungin dan Muaragembong, Bekasi, Jawa Barat. Ini adalah tempat di mana semua komoditas tersebut dikumpulkan sebelum melanjutkan perjalanan ke Batavia—kini bernama Jakarta.

Cikao bukan pelabuhan biasa. Tempat ini dipilih karena arus Sungai Citarum di sini bergerak tenang, mengalir pelan dengan kemiringan yang hampir datar, hanya 40 meter perbedaan ketinggian dalam ratusan kilometer. Pasang surut Laut Jawa menjadi sekutu: membantu tongkang-tongkang melaju lebih cepat menuju muara ketika air surut dan mendorong mereka kembali ke arah hulu saat air pasang.