News - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi "Pakta untuk Masa Depan" dalam menghadapi tantangan abad ke-21 mulai dari konflik hingga perubahan iklim dan hak asasi manusia. Akan tetapi, Rusia dan beberapa negara berafiliasi dengan mereka sempat menolak resolusi tersebut.

Sekjen PBB, Antonio Guterres, mengatakan, penandatanganan pakta itu sebagai upaya dalam satu generasi untuk membentuk kembali sejarah manusia dengan menghidupkan kembali kerja sama internasional.

Dalam acara yang merupakan pembukaan sidang tahunan Majelis Umum PBB pada Selasa (24/9/2024) mendatang, puluhan pemimpin pemerintahan berkumpul untuk menandatangani pakta tersebut. Pakta tersebut berisi para pemimpin negara akan berjanji untuk memperkuat sistem multilateral dengan mengikuti perubahan dunia dan melindungi kebutuhan kepentingan generasi saat ini dan masa depan.

"Kami percaya ada jalan menuju masa depan yang lebih cerah bagi seluruh umat manusia," bunyi dokumen tersebut sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia, Senin (23/9/2024).

Penerapan kebijakan tersebut sempat mengalami penundaan saat Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Vershinin, mengenalkan amandemen yang menekankan "prinsip nonintervensi dalam urusan dalam negeri negara" dan mendesak PBB untuk tidak menduplikasi. Sikap Rusia didukung Belarus, Korea Utara, Iran, Nikaragua dan Suriah, yang merupakan sekutu Rusia. Akan tetapi, amandemen tersebut ditolak karena mosi untuk tidak mengambil tindakan.

Selama perundingan, Guterres mendesak negara menunjukkan "visi" dan "keberanian", dan menyerukan "ambisi maksimum" untuk memperkuat lembaga internasional yang berupaya merespons secara efektif ancaman-ancaman saat ini.

Petinggi International Crisis Group, Richard Gowen, mengakui ada beberapa ide bagus dalam pakta tersebut. Akan tetapi, dokumen tersebut bukan dokumen revolusioner dalam mereformasi keseluruhan multilateralisme seperti yang disampaikan Guterres.

Sentimen tersebut juga dirasakan para diplomat, bahkan ada yang mengungkapkan rasa frustasi saat mendiskusikan dampak dari teks tersebut.

“Idealnya, kita mengharapkan ide-ide baru, ide-ide segar,” kata seorang diplomat.

Sementara itu, Human Right Watch (HRW) memuji teks tersebut dengan memuat komitmen penting mengenai keadilan ekonomi dan reformasi arsitektur keuangan internasional dan pentingnya manusia. Akan tetapi, Direktur HRW di PBB, Louis Charbonneau, mengatakan, pemimpin dunia masih harus menunjukkan kesediaan mengambil tindakan untuk menjunjung tinggi HAM.

Sumber: VOA Indonesia

#voaindonesia