News - Partai Buruh dalam kontestasi Pemilu 2024 sempat menjadi fenomena unik tersendiri. Di media sosial, partai yang baru pertama kali ikut pesta demokrasi lima tahunan ini cukup menyita perhatian. Mereka digadang-gadang menjadi partai alternatif dari arus partai-partai parlemen.

Sayangnya, jalan Partai Buruh nampaknya belum mulus pada pemilu tahun ini. Ketua Bappilu Partai Buruh, Ilhamsyah, menjelaskan bahwa memang ada tantangan-tangan yang membuat roda mesin partainya kurang paten. Misalnya, kata dia, kurangnya kesadaran kelas pekerja atau buruh sendiri terhadap hadirnya Partai Buruh sebagai representasi mereka dalam gelanggang politik.

“Nah, di situ kita mengevaluasi ternyata kesadaran yang umum di masyarakat atau mungkin kerja keras kita dalam pendidikan politik kepada anggota dan kepada masyarakat masih kurang,” kata dia dalam podcast For Your Pemilu atau FYP Tirto.

Namun, Ilhamsyah menegaskan Partai Buruh tidak patah arang. Mereka akan mencoba kembali melakukan perbaikan dan konsolidasi untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada 2024.

Selain itu, Partai Buruh berencana membuat sekolah politik yang diharapkan mampu mempraktekkan pendidikan politik agar tidak terjebak pada pragmatisme. Dia menilai, sistem pemilu saat ini yang diatur dalam UU Pemilu hanya melanggengkan parpol-parpol borjuis.

Parpol-parpol dengan modal besar ini tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat dan justru melanggengkan politik transaksi. Politik uang dan sikap pragmatis masih ditemui dirinya dalam ajang pemilu tahun ini.

Bagaimana manuver perjuangan Partai Buruh dalam memberikan pendidikan politik? Simak petikan wawancara Tirto bersama Ilhamsyah di bawah ini:

Masih ngikutin hasil-hasil quick count sementara nggak sih?

Iya, masih. Kawan-kawan yang di daerah semua juga masih terlibat dalam proses pengawalan perhitungan suara di tingkatan kecamatan. Karena mayoritas sekarang ini masih perhitungan suara di tingkatan kecamatan. Dan tentu semua mesin partai juga memang didorong untuk memastikan itu.

Ada prediksi-prediksi enggak kemarin-kemarin ini lihat hasil quick count sementara?

Kalau kita punya, sebuah partai politik punya target kan pasti waktu itu partai punya target kan. Dari awal kita membangun partai itu target pertama kami itu adalah bagaimana partai ini bisa lolos verifikasi dan menjadi peserta pemilu.

Nah, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang disahkan pada tahun 2021 itu membuat Serikat Buruh merasa ini adalah kekalahan telak di dalam gerakan buruh. Jadi kontrak outsourcing yang selama ini kita tolak justru di dalam UU Ciptaker itu semakin diliberalkan. Kemudian gimana menghadapinya gitu?

Jadi itulah yang akhirnya mempersatukan kawan-kawan Partai Buruh yang akhirnya menginisiasi, menghidupkan kembali perjuangan melalui jalur politik. Nah, makanya karena waktu kita pendek pada waktu itu, di tahun 2021, kurang lebih sampai sekarang 2,5 tahun, di tengah situasi COVID lagi, kawan-kawan berbagai macam unsur yang ada di Partai Buruh akhirnya menghidupkan kembali partai dan mendeklarasikan Partai Buruh untuk menjadi peserta pemilu.

Dalam waktu yang singkat, di tengah situasi COVID, menurut saya capaian pertama, target pertama untuk partai ini bisa lolos menjadi peserta pemilu, ini capaian yang luar biasa dari konsolidasi politik kelas pekerja di Indonesia.

Tidak mudah loh untuk lolos verifikasi dan menjadi peserta pemilu. Karena kita sama-sama tahu kan persyaratan melalui Undang-undang Pemilu itu, itu memang persyaratan yang dibuat sedemikian rupa oleh kekuasaan untuk selama ini memang menghambat munculnya atau lahirnya kekuatan politik alternatif dari gerakan rakyat.

Ilhamsyah

Ketua Bappilu Partai Buruh, Ilhamsyah. (News/Andhika Krisnuwardhana)

Partai Buruh diprediksi tidak lolos parlemen, bagaimana menurut Anda?

Tentu target kita setelah kita lolos verifikasi itu kan kita targetnya pasti menang kan. Kita ngambil target waktu itu untuk lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen). Target suara kita minimal 6 juta. Dalam kalkulasi kita dengan jumlah anggota seharusnya bisa kita mencapai itu. Tapi setelah melihat hasil quick count, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi kita gitu ya.

Nah, dari situlah kita akhirnya mencoba mengevaluasi, mempelajari banyak hal yang kita dapatkan pembelajaran dari prosesnya.

Pertama, proses evaluasi pertama di kita pembelajaran ternyata kesadaran kelas dari pekerja itu sendiri itu masih jauh. Kesadaran kelas ini, yang saya masuk kesadaran kelas ini gini ya, kesadaran antara relasi hubungan dirinya sebagai kelas pekerja dengan secara ekonomi dengan alat produksi.

Sebagai satu kelas pekerja buruh yang jumlahnya begitu banyak, selama ini tidak menyadari bahwa dia adalah kelas yang sebenarnya berhadapan dengan kelas pemilik modal. Nah, dalam konteks politik, kita sudah mengidentifikasikan diri sebagai partai kelas pekerja dan kenapa kita tidak mau mendukung partai politik yang ada di parlemen selama ini? Karena kita sudah juga menyimpulkan mereka adalah partainya para pemilik modal.

Konteks di dalam kesadaran kelas harusnya kan buruh berpikir, wah ini kelas saya, saya harusnya mendukung Partai Buruh. Tapi ternyata masih mendukung partainya pengusaha.

Nah, di situ kita mengevaluasi ternyata kesadaran yang umum di masyarakat atau mungkin kerja keras kita dalam pendidikan politik kepada anggota dan kepada masyarakat masih kurang. Dan itu kita akui selama ini Serikat Buruh masih banyak memberikan pendidikan-pendidikan sifatnya normatif. Tentang organisasi, tentang perjanjian kerja bersama, tentang undang-undang gitu ya, sifatnya normatif gitu. Tapi dalam pendidikan politik masih minim.

Tentu itu menjadi PR bagi Partai Buruh ke depan dan kita sudah kemarin mendiskusikan bahwa partai harus membuat sekolah politik. Jadi evaluasi dari situ kita akan membuat sekolah partai untuk pendidikan politik bagi anggota kita.

Kalau kesadaran di masyarakat yang juga termasuk buruh gimana?

Iya makanya selama ini kan kita selalu menjelaskan setiap kesempatan bahwa buruh itu adalah orang yang menerima upah, pekerjaan, dan menerima perintah.

Nah, kalau kita masuk dalam kategori ini, mau kita yang bekerja di Sudirman, mau bekerja di pelabuhan, mau yang menjadi supir, mau yang bekerja di media, mau yang bekerja di pabrik, itu kategorinya adalah buruh. Di masyarakat kita memang stigma yang dibangun oleh Orde Baru itu kan memang sengaja menghilangkan jejak revolusioner dari kata-kata buruh.

Dulu di zaman Soekarno, Menteri Tenaga Kerja yang sekarang ini, dulu namanya Menteri Perburuhan. Tapi oleh Orde Baru diganti menjadi Menteri Tenaga Kerja. Di masa Orde Baru, mulai ada penghalusan bahasa. Buruh itu dianggap sebuah pekerjaan yang kasar. Pekerjaan rendah, lalu dibangun satu narasi baru, pekerja, karyawan, pegawai, padahal substansinya semua sama.

Cuma karena ini sebenarnya politis, hanya untuk menghilangkan jejak-jejak revolusioner dari sejarah gerakan buruh di Indonesia. Baik itu sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Nah, Orde Baru berkepentingan di dalam hal itu menghilangkan kata-kata buruh itu. Sehingga banyak sekarang ini orang, wah saya kan karyawan, saya kan pekerja. Padahal dia sebenarnya buruh.

Rencana ke depan setelah tidak masuk parlemen bagaimana?

Kita juga melihat bahwa memang sistem pemilu ini tidak menguntungkan bagi kita. Sistem pemilu ini membuat rakyat akan selalu pragmatis. Sistem pemilu melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini adalah sebuah sistem yang dibangun sedemikian rupa untuk mempertahankan kekuasaan dari partai-partai oligarki yang ada pada hari ini.

Apa contohnya? Pertama, dalam Undang-Undang itu, persyaratan untuk partai politik beserta pemilu itu begitu berat. Bayangkan saja harus punya struktur di 100 persen provinsi, 75 persen kota/kabupaten, 50 persen kecamatan, harus mempunyai anggota seribu atau seperseribu di setiap kota kabupaten.

Dia harus punya sekretariat, dia harus punya rekening bank, dan administrasi yang lainnya. Dan Indonesia ini negara yang sangat besar. Dan itu bukan satu hal yang mudah untuk memenuhi persyaratan tersebut.

Karena nanti akan diverifikasi secara administrasi, dan diverifikasi secara faktual. Ini sistem ini sudah jelas akan menghambat partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Kedua, Undang-Undang ini juga mengkondisikan selalu politik transaksional. Kenapa? Karena di dalam aturan Undang-Undang ini juga yang membatasi hak partai politik untuk mencalonkan calon presidennya sendiri.

Sebab, di dalam Undang-Undang ini, dengan adanya presidential threshold 20 persen, dalam Undang-Undang ini menjelaskan partai politik yang boleh mencalonkan presiden dan wakil presidennya adalah partai politik peserta pemilu sebelumnya, dan mempunyai suara 20 persen atau gabungan suara 20 persen. Nah, Partai Buruh sebagai partai baru, kita kan menginginkan calon presiden dari kita sendiri.

Tapi Undang-Undang membatasi, gitu. Kita coba menggugat kemarin ke Mahkamah Konstitusi, gugatan kita ditolak. Nah, ini yang cenderung membuat politik transaksional.