News - Bayangkan Anda memiliki sebuah lahan peternakan kecil untuk sekadar mencukupi kebutuhan hidup. Kemudian, lahan di sekitarnya dibeli oleh pebisnis untuk dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA).

Segera area itu dipenuhi gunung sampah, bau menyengat, dan bising truk; semuanya mulai mengganggu peternakan Anda. Nahasnya, karena miskin, Anda tidak punya kendali untuk mengatasi itu, terlebih pemilik TPA adalah sobat wali kota, pengusaha, dan politikus.

Anda mencoba mengajak tetangga, yang juga peternak kecil, untuk berunding dengan pemilik TPA agar operasi dibatasi. Pemilik TPA keberatan. Dia mengatakan pembuangan sampah di tempatnya hanya akan dibatasi jika Anda juga mengurangi produksi sampah peternakan, yang berarti pengurangan produksi ternak.

Pemilik TPA juga menjanjikan bantuan-bantuan kecil, seperti peminjaman uang untuk pembangunan tembok batas, pengadaan air bersih, atau apa pun, tetapi tetap tidak mau membatasi apalagi menyetop operasi bisnis.

Perundingan demi perundingan berjalan, tawarannya kurang lebih sama, namun syaratnya bertambah: Produksi Anda semakin lama harus dikurangi karena dianggap ikut menyumbang polusi sampah di area itu. Sementara area tersebut makin dekat untuk menjadi lahan mati, pemilik bisnis TPA tinggal nyaman di rumahnya yang nun jauh dari sana, dengan uang dari hasil bisnis kotor tersebut.

Menurut J. Timmon Roberts dan Bradley C Parks, kira-kira demikianlah analogi perundingan kebijakan iklim dunia yang telah terjadi setidaknya sejak isu pemanasan global pertama kali mencuat pada dekade 1980-an. Dalam buku A Climate of Injustice: Global Inequality, North-South Politics, and Climate Policy (2007) mereka menemukan bahwa negosiasi mengenai kebijakan iklim banyak didikte negara-negara kaya terutama di belahan bumi Utara.

Negara-negara kaya yang dominan mengeluarkan “sampah” gas rumah kaca malah banyak menuntut negara-negara miskin untuk ikut bertanggung jawab dengan porsi sama bahkan lebih. Pola itu muncul sejak pertemuan di Stockholm pada 1972, Nairobi 1982, de Janeiro 1992, Johannesburg 2002, dan seterusnya.

Saat Earth Summit di Rio, hal ini dilakukan Amerika Serikat, negara penyumbang emisi terbesar. Mereka menolak membatasi emisi jika negara-negara miskin tidak melakukan hal serupa. Begitu juga saat Bill Clinton menandatangani Protokol Kyoto pada 1997. Ketika itu Senat malah setuju untuk tidak mengurangi aktivitas industri kotor jika negara-negara miskin tidak melakukannya.