News - Pagi itu, awan mendung masih menggelayut di atas Kelurahan Balong, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Saya mengandalkan arahan dari Google Maps dan beberapa warga lokal untuk mencari tujuan. Hingga tibalah saya di suatu tanah lapang yang lokasinya tidak jauh dari Terminal Bus Balong.

Tanah lapang ini terletak di tengah pemukiman penduduk. Pada salah satu sisinya, terdapat monumen sederhana. Itulah tujuan utama saya.

Monumen sederhana itu tampak kusam. Bagian bawahnya merupakan undakan bersusun tiga dengan warna biru. Di atasnya, terdapat prasasti dan tiga pilar menjulang.

Dalam prasasti itu bisa kita baca kalimat, “Dengan berkat dan rahmat Tuhan Yang Mahaesa, Desa Balong telah menjadi saksi sejarah bagi perjuangan angkasawan RRI/PHB Markas Besar Komando Jawa (GM II) yang telah melakukan siaran dan hubungan dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera dan Luar Negeri pada Perang Kemerdekaan II (Clash II) tahun 1948-1949.”

Di bagian bawah, tertera keterangan bahwa monumen ini diresmikan oleh Menteri Penerangan Harmoko pada 11 September 1985. Tarikh itu bertepatan dengan perayaan Hari Radio Nasional ke-40.

Tengara ini kemudian dikenal dengan nama Monumen RRI Balong. Lain itu, ada pula yang menyebutnya Monumen Radio Kambing.

Monumen RRI Balong

Monumen RRI Balong di Karanganyar FOTO/Omar Mohtar

Agresi Militer II

Keberadaan Monumen RRI Balong ini terkait erat dengan sejarah Revolusi 1945-1949 dan jaringan radio AURI yang digunakan sebagai alat komunikasi pada masa Agresi Militer Belanda II.

“Jaringan Radio AURI berporoskan Aceh-Yogya, meliputi stasiun radio dalam pengungsian Kotaraja, Tarutung, Bangkinang, Pasir Pangreyen, Kotatinggi, Stasiun mobil meliputi PDRI di daerah Kerinci, Lubuk Linggau, Wonosari, dan Jamus (sekitar Gunung Lawu),” tulis Nana H.N. Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950 (2008, hlm. 227).

Peristiwa yang melatari pendirian Monumen RRI Balong dapat kita runut ke tarikh 19 Desember 1948. Saat itu, Belanda melancarkan Agresi Militer II dan berhasil menguasaiYogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota RI. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, beserta beberapa menteri juga turut ditawan usai kejatuhan Yogyakarta.

Dua hari kemudian—tepatnya pada 21 Desember 1948, pasukan Belanda tiba di Surakarta. Belanda kemudian berusaha menduduki beberapa objek penting di Surakarta, salah satunya pemancar radio.

Menurut Sejarawan Heri Priyatmoko, radio merupakan alat komunikasi penting di masa itu. Bagi pejuang RI, radio merupakan sarana penting untuk menyebarkan komando, berita situasi perang, dan krusial pula untuk agitasi politik.

Demi kepentingan itu, Kepala RRI Surakarta R. Maladi lantas berinisiatif untuk mengungsikan alat pemancar radio yang ada ke luar Surakarta.

"Oleh R. Maladi dan teman-teman angkasawan, radio itu dungsikan ke arah kaki Gunung Lawu secara diam-diam," kata Priyatmoko seperti dikutip laman Kompas.com.