News - Perayaan Cheng Beng atau sembahyang kubur yang menjadi tradisi Tionghoa rutin dilakukan setiap tahunnya. Mereka membakar uang arwah, rumah, hingga mobil dari kertas.

Tradisi tersebut dilakukan untuk mengirim benda-benda kepada leluhur yang sedang berada di akhirat. Kegiatan ini setiap tahun dilakukan berkumpul di kuburan untuk berdoa serta memberikan sesaji makanan, membakar hio dan lainnya.

Ritual ini biasanya dilaksanakan pada tanggal 4 atau 5 April dalam kalender Masehi. Dalam budaya warga Tionghoa ada tiga kali sembahyang yang ditujukan bagi keluarga yang telah meninggal. Pertama, sembahyang bulan tiga atau Cheng Beng. Kedua, sembahyang di saat ritual Bakar Tongkang. Ketiga, sembahyang Sayur pada bulan Oktober.

Perayaan Cheng Beng menjadi angin segar bagi sektor perekonomian daerah khususnya di Kota Solo. Maryono (43), pengrajin rumah rumah kertas Tionghoa di Kota Solo mengaku ketiban untung saat ada tradisi tersebut.

Maryono merupakan penerus kedua dari keluarganya yang masih merintis usaha tersebut. Dia mengakui sering menerima pesanan, minimal satu rumah kertas.

Tradisi Pembakaran Rumah Kertas

Maryono (43), warga Kampung Kepanjen RT 01 RW 06, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Solo menjadi penerus bisnis turun temurun keluarganya sebagai pengrajin rumah kertas Tionghoa. (FOTO/Febri Nugroho)

Rumah kertas yang dibuat Maryono terbuat dari kerangka bambu berbentuk rumah dibalut dengan kertas warna-warni. Rumah berukuran setinggi manusia dan lebar sesuai kebutuhan itu, didesain mirip hunian.

Maryono bercerita untuk membuat rumah kertas lengkap dengan interiornya seperti sofa, cermin, lemari, tempat tidur, dan kamar mandi membutuhkan waktu pengerjaan selama 2 minggu. Tidak hanya itu, sosok leluhur pun dibuat sehingga terlihat menjadi sebuah karya seni yang hidup.

Sekali pembuatan rumah kertas Tionghoa, Maryono membanderol harga mulai dari Rp4 juta hingga Rp5 juta tergantung tingkat kesulitan dan ukuran pesanan.

"Kisaran Rp4 juta sampai Rp15 juta satu kerajinan. Tergantung keinginan pemesan," kata Maryono saat berbincang dengan Tirto, Rabu (8/5/2024).

Maryono bercerita orang tuanya dahulu bekerja di sebuah tempat pembuatan kerajinan rumah kertas. Seiring berjalannya waktu, bapaknya membuka usaha kerajinan sendiri.

"Saya sudah dilatih sejak SD. Awalnya ya hanya bantu mengelem dan menali. Pelan-pelan belajar merakit dari bapak dan bisa sendiri sampai sekarang," cerita Maryono.

Maryono pun berharap tradisi turun temurun yang telah menjadi ladang bisnis bagi keluarganya tersebut bisa terus ada.

"Ya saya berharap agar tradisi ini bisa lestari. Tidak hanya tradisi ini tapi banyak tradisi dan budaya yang jadi mata pencaharian rekan-rekan sesama pengrajin seperti kalau pengrajin blangkon misalnya bisa terjaga," ungkap Maryono.