News - Selama bertahun-tahun, kesejahteraan hakim belum menjadi prioritas pemerintah. Padahal, hakim merupakan pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan.

Ketentuan mengenai gaji dan tunjangan jabatan hakim selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. PP 94/2012 itu belum mengalami penyesuaian dan tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Gaji pokok dan tunjangan hakim yang diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2012 memang sudah harus direvisi. [PP tersebut] sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hakim. Inflasi berkali lipat naik, sementara gaji pokok dan tunjangan hakim sudah 12 tahun lebih tidak naik,” ujar Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Yasardin, kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).

Dalam lampiran PP tersebut [PDF], hakim Golongan III A dengan masa jabatan 0 tahun mendapatkan gaji paling rendah, yaitu Rp2.064.100 per bulan. Sementara itu, hakim Golongan III D menerima gaji sebesar Rp2.337.300.

Gaji pokok hakim bertambah sekitar Rp60 ribuan setiap tahunnya. Oleh karena itu, seorang hakim Golongan III A yang telah mengabdi selama 12 tahun, gajinya akan meningkat menjadi Rp 2.557.600. Sementara itu, hakim Golongan III D menjadi Rp 2.794.800.

Sementara untuk hakim Golongan IV A yang paling rendah pada golongannya mendapatkan gaji Rp2.436.100 per bulan, sementara Golongan IV E sebesar Rp2.875.200 pada masa 0 tahun pengabdian. Untuk mencapai angka Rp4 juta, hakim Golongan III harus mengabdi selama 32 tahun, sedangkan Golongan IV memerlukan waktu 28 tahun.

Usul IKAHI yang disetujui Kementerian PANRB, gaji pokok range-nya antara 8 sampai 15 persen, tunjangan jabatan antara 45 sampai 75 persen. Itu usulan. Untuk menetapkan berapa angkanya, itu kewenangan Kementerian Keuangan,” ujar Yasardin.

Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Fauzan Arrasyid, melihat ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan penghasilan hakim ini jelas merupakan langkah mundur dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan. Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Mahkamah Agung (MA) sebenarnya telah mengeluarkan Putusan Nomor 23P/HUM/2018 yang secara tegas mengamanatkan perlunya peninjauan ulang terhadap pengaturan penggajian hakim. Dengan demikian, pengaturan penggajian hakim yang diatur dalam PP 94/2012 saat ini sudah tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

Oleh karena itu, revisi terhadap PP 94/2012 untuk menyesuaikan penghasilan hakim menjadi sangat penting dan mendesak,” ujar Fauzan dalam keterangannya kepada Tirto.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menambahkan bahwa setiap profesi itu pada dasarnya harus ada jaminan kesejahteraan demi penghidupan yang layak. Apalagi, profesi hakim memiliki tanggung jawab, risiko, dan konsekuensi yang begitu besar karena ia harus mempertahankan independensinya.

Tidak mungkin kita berikan kesejahteraan tanpa indikator kualitas dan kuantitas. Karena, pekerjaan atau profesi-profesi seperti hakim ini profesi yang noble. Nobility-nya itu tinggi, jadi harus dijamin kuantitas dan kualitasnya,” ujar Fauzan kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).

Julius mengatakan bahwa mekanisme penggajian di dalam PP 94/2012 itu sudah banyak yang tidak relevan. Maka sebenarnya bisa diasumsikan dengan kuat bahwa dari segi indikator atau komponen kelayakan yang diberikan pemerintah belum maksimal.

Nah, itu yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut,” imbuh dia.