News - Sudah puluhan tahun Bongsuwung menjadi kampung yang dibangun oleh tangan-tangan warga pinggiran kota Jogja, kini terpaksa rata tanah. Sudah sejak 26 September, terhitung seminggu setelah Surat Peringatan ketiga diterima, warga Bongsuwung terpaksa hengkang atas wacana sterilisasi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Di hadapan PT KAI, Bongsuwung tak ada bedanya dengan debu kotor yang menempel di rel kereta. Sehingga, tempat itu harus steril. Menurut PT KAI, Bongsuwung merupakan emplasemen atau kompleks jalur kereta.

“Yang namanya emplasemen dan kebetulan itu berada di emplasemen kereta api, tentu harus steril. Tidak boleh ada hunian di situ,” kata Krisbiyantoro, Manajer Humas KAI Daerah Operasional 6 Yogyakarta, pada Jumat, 27 September 2024.

Bongsuwung tepat di sebelah barat Stasiun Tugu Yogyakarta, di pinggiran rel kereta api, di mana rumah-rumah bedeng bersekat kayu berdiri. Akses jalan ke Bongsuwung berhenti di tanjakan buntu dari kampung Jlagran melewati gang kecil yang hanya bisa dilalui satu motor. Seperti masuk ke lorong dunia lain, seolah tak terjamah gemerlap kota Jogja.

Deretan bangunan semi permanen itu berhimpitan satu sama lain, berdampingan langsung dengan jalur lintas sepur. Di sinilah puluhan warga tak hanya membangun atap, tetapi juga menemukan keluarga. Menurut data sementara Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral Yogyakarat, terdapat 49.937 perumahan atau pemukiman rakyat yang masuk kategori tak layak huni di Yogyakarta. Warga Bongsuwung adalah bagian masyarakat miskin kota yang terus berjuang meski dipinggirkan pemerintah. Selama ini, belum pernah ada uluran bantuan, kecuali dari para mahasiswa maupun aktivis dan LSM.

Dulu, Bongsuwung kondisinya masih penuh semak belukar dan menjadi tongkrongan para bandit. Kebanyakan warga Bongsuwung adalah perantau, menjajal penghidupan yang mujur di kota istimewa. Lambat laun, warga Bongsuwung hidup layaknya satu kampung dengan segala aktivitas bersama. Mereka bekerja sehari-hari sebagai pedagang, kuli, pemulung, dan beberapa perempuan menjajakan diri. Tapi lambat laun, warga berbenah dan menata Bongsuwung layaknya kampung yang harmonis.

Mereka membaur dengan deru kereta api yang melintas setiap saat. Di antara rel kereta api yang berderit, puluhan keluarga menggantungkan hidup. Total terdapat 168 jiwa dengan 76 KK di Bongsuwung. Lebih dari 43 jiwa adalah kelompok lansia, dan 3 jiwa penyandang disabilitas. Mereka di antaranya pedagang, pemulung, hingga pekerja seks. Di sinilah warga berjuang untuk mempertahankan hak atas hidup mereka di atas tanah yang mereka sebut rumah, meski kini rumah itu sudah dibongkar bertahap pasca penggusuran dari PT KAI untuk sterilisasi. Di balik kepasrahan itu, tersimpan perjuangan panjang dari pintu ke pintu, walau di ujung warga Bongsuwung tak punya cukup kuasa untuk membela haknya.