News - Senyum seperti tidak pernah pudar dari wajah Lamale. Memakai kemeja berkerah dan topi berwarna putih, Lamale tampak terlalu rapi untuk sekadar mengemudikan perahu kayu. Namun jangan tanyakan soal keramahan Lamale menyambut tamu. Ia selalu gesit dan cekatan di usianya yang genap 70 tahun.

Lamale akan mengantarkan saya dan rekan-rekan wartawan lain melihat-lihat rerimbun hutan Mangrove Mentawir. Kunjungan ini saya laksanakan pada Selasa, 3 Oktober 2023. Lamale tinggal di Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur.

Kampung kecilnya ini memiliki destinasi wisata yang dinamai ‘Hutan Mangrove Mentawir.’ Sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tiram Tambun, Lamale ikut mengelola ekowisata mangrove tersebut. Lokasi hutan Mangrove Mentawir berjarak sekitar 40 kilometer dari Titik Nol Ibu Kota Nusantara.

Waktu tempuh menuju ke sana, sekitar satu jam 40 menit lewat jalur darat dari kawasan inti IKN Nusantara. Saya tiba di dermaga penyeberangan dan berjumpa dengan Lamale ketika sore mulai tandang. Sekitar pukul 16.00 WITA, saya dan sejumlah rekan wartawan mulai menumpangi perahu kayu yang dikemudikan Lamale.

“Tenang aman, cuma goyang sedikit namanya juga di air,” kata Lamale sambil tersenyum.

Ada sekitar 10 orang menumpangi perahu kayu yang tidak terlalu besar itu. Sontak saja agak doyong ketika orang-orang mulai memenuhi perut perahu. Saya berkali-kali mengencangkan pegangan ke tiang saat perahu mulai bergoyang. Maklum saja, tidak ada satu pun pelampung yang kami kenakan.

Dari dermaga, Lamale mengantarkan rombongan untuk berjalan mandiri ke area hutan mangrove. Hanya butuh waktu lima menit dengan perahu untuk menyebrang ke area ini. Di sana, sudah tersedia jembatan yang membelah rerimbun bakau. Menurut penuturan Lamale, panjang jembatan saat ini sekitar 900 meter.

“Wah enggak ada pagarnya, ngeri juga kalau tiba-tiba ada buaya,” celetuk seorang rekan wartawan.

Mangrove Mentawir

Mangrove Mentawir di IKN. News/M Fajar Nur

Hutan mangrove Mentawir memang menyimpang beragam kekayaan jenis flora dan fauna. Menurut Lamale, beberapa satwa langka bahkan mendiami kawasan ini. Sebut saja penyu sisik (eretmochelys imbricata), pesut pesisir (orcaella brevirostris), dugong (dugong dugon), hingga bekantan (nasalis larvatus). Sayangnya, buaya tak masuk hitungan. Saya pun enggan membayangkan.

“Kalau orang biasa dari luar Balikpapan atau luar (Pulau) Kalimantan (berkunjung ke sini). Di malam hari biasa menonton kunang-kunang, di siang hari (bisa) melihat bangau tongtong (leptoptilos javanicus),” ujar Lamale.

Jembatan yang saya jejaki untuk melihat rerimbun bakau, pada mulanya menggunakan kayu sungkai di seluruh bagiannya. Jenis kayu ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Kendati demikian, menurut penjelasan Lamale, kayu sungkai tidak kuat menahan panas dan hujan. Akhirnya, berkali-kali jembatan mengalami renovasi karena tidak layak pakai.

“(Tahun) 2017 memasuki 2018 itu kayu sungkai hancur. Satu tahun tidak boleh orang datang. Karena hujan panas itu kayu sungkai tidak tahan hujan panas,” terang Lamale.

Lamale meminta bantuan PT Inhutani I untuk merenovasi jembatan menggunakan kayu ulin agar lebih kokoh. Desa Mentawir memang berbatasan dengan wilayah kelola PT Inhutani I, perusahaan ini merupakan badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di sektor kehutanan. Namun, saat ini belum ada pagar di jembatan tersebut, pengunjung yang terpeleset dijamin akan langsung tercebur ke perairan di bawahnya.

“Kami, kan, terbatas dana, kalau tenaga untuk bantuan teman-teman di sini dari teman-teman mau membangun pagarnya, itu sangat terbatas dananya,” ungkap Lamale gusar.