News - Menurut banyak pekerja Indonesia dengan rata-rata upah gaji Rp3 juta per bulan, membeli tas Louis Vuitton atau jam tangan Rolex yang harganya setara dengan jumlah uang muka rumah (atau bahkan satu unit rumah di pinggiran Jakarta) jelas terdengar seperti keputusan irasional dan absurd. Di sisi lain, tindakan tersebut wajar saja di otak kaum berduit—seperti pengusaha sukses, artis terkenal, atau influencer papan atas, termasuk yang baru-baru ini beritanya membuat kita semua muak: keluarga pejabat yang terindikasi melakukan korupsi.

Apa yang sebenarnya mendorong orang untuk membeli komoditas tersier tersebut? Kenapa membeli barang bernilai fantastis meskipun fungsi yang sama bisa ditemukan pada produk dengan harga lebih manusiawi?

Mungkinkah mereka membeli barang mahal karena sekadar merasa bisa melakukannya—dalam rangka mengatasi stres, misalnya, seperti seorang bintang televisi yang mengklaim bahwa kepalanya pusing apabila tidak menggelontorkan duit untuk beli tas tangan berwarna merah muda produksi Hermès. Ataukah konsumsi barang-barang mewah dilakukan untuk pencitraan agar terlihat “berbeda” alias lebih keren dari kebanyakan orang?

Pertanyaan seputar motif dan dorongan di balik obsesi manusia terhadap gemerlap komoditas mewah sebenarnya sudah berusaha dijawab oleh banyak pakar sedari lama. Salah satu studi tentang konsumerisme yang dianggap terobosan berpengaruh pada zamannya dilakukan oleh ekonom-sosiolog Thorstein Veblen.

Dalam The Theory of The Leisure Class (1899), Veblen menyorot perilaku bermewah-mewah yang lazim ditemui pada kalangan elite di Amerika Serikat pada era Victoria. Sesuai konteks satu abad silam, “kelas penikmat” ini punya karakteristik ekonomi non-industrial alias tidak perlu banting tulang seperti kelas pekerja yang berpeluh keringat memetik hasil panen kebun di bawah terik matahari atau menggali dalam gelap lubang tambang agar bisa makan sehari-hari.

Seiring diberkahi dengan aset dan kekayaan turun-temurun dari buyutnya, kalangan jetset ini diasosiasikan dengan gaya hidup conspicuous consumption atau 'konsumsi yang mencolok', yaitu aktivitas menghambur-hamburkan uang untuk membeli barang mahal tanpa manfaat praktis atau punya fungsi sama dengan barang lain dengan harga lebih terjangkau.