News - “Menurut gue, kita masih di umur-umur yang tanggung, nggak muda, nggak tua, jadi sayang saja kalau umur dihabiskan untuk kerja kantoran yang memakan banyak waktu,” cerita Jasmine. Perempuan 30 tahun ini menghabiskan sekitar satu tahun terakhir untuk mengambil gap year.

Adult gap year atau yang belakangan populer dengan sebutan “micro-retirement” atau "mini-retirement", merujuk ke fenomena kelompok karyawan muda mengambil jeda dari karier mereka selama beberapa bulan. Bahkan, dapat mengambil jeda selama beberapa tahun untuk mengatasi burnout atau kejenuhan kerja di lingkungan korporat.

“Pengalaman di kerjaan kemarin memang lumayan overwhelm ya, karena walaupun sebenarnya (jam kerjanya) eight to five, tapi culture-nya itu kebanyakan, setelah jam lima juga masih menyelesaikan pekerjaan yang belum tuntas. Kemudian masih ada arrange meeting, jadi panitia event kantor, segala macam,” tambah Jasmine. Semua kesibukannya di kantor tersebut membuatnya kesulitan mengalokasikan waktu untuk olahraga, sesuatu yang menjadi prioritas dalam hidupnya.

“Gue benar-benar merasa hidup itu rumah-kantor, rumah-kantor saja,” tutur Jasmine lagi. Kondisi tersebut membuatnya merasa tidak bisa mengembangkan diri dan merasa tersangkut dengan pekerjaan yang sekarang.

Akhirnya setelah melakukan perhitungan dan menimbang segala risiko, Jasmine memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan mengambil micro-retirement. “Gue butuh waktu untuk diri sendiri, untuk memikirkan sebenarnya gue mau apa. Karena gue yakin dan sadar, perjalanan karier di company yang kemarin itu, gue nggak mau stuck di situ,” tambah dia lagi.

Meski mungkin belum lazim di Indonesia, fenomena micro-retirement menjadi kata-kata populer baru di dunia kerja internasional. Hal ini mencerminkan metode lainnya yang viral lewat media sosial, terkait keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance) di kalangan anak muda.

Sebelumnya tren seperti “great resignation,” “quiet quitting,” dan, “coffee badging” sempat menjadi terma baru terkait dunia kerja.

Salah seorang pendiri Konsultan Sumber Daya Manusia The Rise Journey, Jes Osrow, mengatakan bahwa micro-retirement adalah, "konsep fleksibel yang bervariasi tergantung pada siapa yang Anda tanyai," sebutnya kepada Business Insider.

Bagi sebagian orang, menurut dia, ini adalah kesempatan untuk melawan kejenuhan dan mengejar "hasrat pribadi" di luar kantor. Sementara bagi orang lainnya, ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk memulai pekerjaan sampingan baru.

Berbagai tren dan upaya mencapai work-life balance, seperti micro-retirement yang populer belakangan ini adalah dampak dari burnout, masalah kelelahan bekerja yang sempat naik daun saat pandemi COVID-19.

Survei yang terangkum dalam SHRM’s Employee Mental Health 2024, menyebut 44 persen responden mengaku merasakan burnout di pekerjaannya. Survei terhadap 1.405 orang pekerja di Amerika Serikat juga menyebut 45 persen juga mengaku merasa terkuras secara emosional oleh pekerjaan mereka.

Sementara di dalam negeri, survei dari Lembaga Penelitian Kesehatan Mental menunjukkan sekitar 60 persen pekerja mengalami burnout. Hal ini ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan kinerja.