News - Euleung euy, euleung

Barudak urang ka jami (anak-anak mari ke ladang)

Embung euy, embung (tidak mau euy, tidak)

Sieun badak nu kamari (takut badak yang kemarin)

Euweuh euy, euweuh (tidak ada euy, tidak ada)

Geus dibedil ku si Jendil (sudah ditembak oleh si Jendil)

Dil long dil-dil long

Si Jendil dirawu kelong (Si Jendil diambil kelong/kalong wewe)

Kakawihan atau lagu permainan anak-anak berjudul "Si Jendil" ini melukiskan tentang seorang anak yang mengajak teman-temannya untuk pergi ke ladang, tapi mereka tidak mau karena takut badak. Kakawihan 8 padalisan dengan bentuk dialog ini biasanya dinyanyikan anak-anak ketika berkumpul sebagai pengisi waktu luang.

Dalam buku Pengukuhan Nilai-Nilai Budaya Melalui Lagu-Lagu Permainan Rakyat (Pada Masyarakat Sunda)yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1993, tak ada catatan soal siapa pencipta dan kapan lagu tersebut diciptakan. Sementara dalam buku Ajip Rosidi, Tembang jeung Kawih (2013), lagu tersebut berjudul "Euleung Euy, Euleung".

Menurut pakar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung cum anggota Masyarakat Geografi Nasional Indonesia, T. Bachtiar, lagu tersebut masih terdengar dinyanyikan anak-anak di Priangan, tepatnya di Garut Selatan, Jawa Barat, antara tahun 1967-1968. Lagu ini menunjukkan krisis populasi badak di Priangan akibat perburuan liar pada masa itu.

Penggunaan nama hewan badak juga terdapat dalam pantun sunda berjudul "Carita Badak Pemalang". Pantun ini sangat panjang sehingga ketika akan di-haleuangkeun (dinyanyikan) oleh Ki Samid pada 1971 di Cisolok, Sukabumi, ia bilang butuh waktu tiga malam untuk melantunkan seluruh pantun tersebut. Ketika dibukukan pada 1988, butuh dua volume buku untuk menampung semua isi pantun.

"Saya tidak menguasai isi pantunnya, mungkin ada semacam analogi atau apa gitu di situ," kata Bachtiar, Selasa (2/7/2024).

Selain dari kawih dan pantun, karya seni patung badak yang kini berada di Taman Balai Kota Bandung, Jawa Barat, juga jadi penanda keberadaan hewan soliter itu di priangan. Patung badak bercula satu tersebut berada di tengah kolam menghadap ke Jalan Merdeka dan Taman Panda di samping gedung Bank Indonesia (BI). Pada era kolonial Belanda, Taman Balai Kota Bandung bernama Pieters Park, lalu pernah berubah nama menjadi Taman Merdeka.

Zaman baheula, bekas badak berkubang memang kerap dijadikan permukiman hingga pusat pemerintahan. Jika ditelusuri, lokasi tersebut banyak tersebar di Kota Kembang.

"Kota ini didirikan di bekas paguyangan badak bodas, bekas tempat berkubangnya badak putih," kata Bachtiar.

Ia tidak mengetahui pasti keberadaan badak berwarna putih tersebut. Akan tetapi, ia menjelaskan lumpur yang menempel pada tubuh badak akan berwarna putih jika mengering terjemur matahari.

"Kalau berkubangnya di daerah yang padas, batuan cadas, bisa putih juga, ya. Tanah yang warnanya putih atau krem gitu kan banyak di Bandung. Makanya ada nama Cicadas, itu kan dari batuan padas, cadas," kata dia.

Menurut Bachtiar, cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat) dahulu menjadi habitat badak, harimau, macan, dan hewan liar lainnya.

"Daerah priangan ini cocok banget, ada hutan, lalu di pinggir hutan ada sungai, ada rawa-rawa, ada padang rumput, jadi cocok banget sebagai habitat hewan liar," ujarnya.