News - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memandang fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2024 sebagai kenyataan dalam berdemokrasi. Pernyataan tersebut merespons adanya 41 daerah dengan calon kepala-wakil kepala daerah tunggal yang berpotensi melawan kotak kosong.

Jumlah tersebut didapat usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) menutup masa perpanjangan pendaftaran cakada dan cawakada di 43 daerah dengan calon tunggal. Hingga hari terakhir perpanjangan, Rabu (4/9/2024) lalu, hanya ada dua daerah yang mendapatkan calon baru.

“Ya memang kenyataannya di lapangan seperti itu. Kotak kosong pun juga ada proses demokrasi,” kata Jokowi usai mengunjungi Pasar Soponyono, Surabaya, Jumat (6/9/2024).

Maka, ada 41 daerah dengan calon tunggal bertarung melawan kotak kosong pada Pilkada 2024 yang diselenggarakan di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Jumlah daerah dengan lawan kotak kosong ini adalah yang terbesar sepanjang Pilkada serentak diselenggarakan. Pada 2020, ada 25 daerah diikuti calon tunggal dari 270 daerah penyelenggara pilkada.

Banyaknya daerah dengan calon kepala daerah tunggal ini menunjukkan setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melonggarkan syarat pendaftaran calon Pilkada, ternyata fenomena kotak kosong tidak otomatis terkikis. Padahal, MK membuat ambang batas lebih rendah yang disamakan dengan syarat jalur independen, berkisar dari 6,5-10 persen dari suara sah pemilu sebelumnya.

Sejumlah pengamat politik dan pegiat pemilu menyayangkan ucapan presiden Jokowi yang seolah-olah mewajarkan fenomena kotak kosong di pilkada. Memang betul bahwa calon tunggal melawan kotak kosong sudah diakomodir dalam rezim hukum pilkada di Indonesia. Namun, Jokowi luput melihat ancaman fenomena ini terhadap keberlangsungan demokrasi.

Sosialisasi Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2024

Model menunjukkan maskot Pilkada Jawa Timur 2024 si Jali (Jatim Memilih) kepada pengendara motor di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/agr

Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai munculnya calon tunggal melawan kotak kosong memang opsi konstitusional dalam penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Calon tunggal awalnya lahir untuk mengatasi kebuntuan proses pilkada akibat bloking politik yang dilakukan partai-partai.

Makanya, kata dia, calon tunggal pada Pilkada 2015 rata-rata cuma didukung maksimal tiga parpol. Namun, setelah pilkada serentak 2015, calon tunggal justru bertransformasi menjadi jalan pintas mengamankan kemenangan lewat hegemoni calon petahana yang kental.

“Calon tunggal kalau terjadi secara alamiah tidak jadi masalah. Meski hal itu akhirnya menimbulkan catatan soal keberfungsian partai politik sebagai institusi kaderisasi dan rekrutmen politik demokratis,” kata Titi kepada reporter Tirto, Jumat (6/9/2024).

Namun Titi menilai, calon tunggal dalam pilkada saat ini mayoritas mengindikasikan praktik politik yang tidak sehat. Calon tunggal justru muncul sebagai strategi bloking dan sabotase politik demi menghambat kompetisi dan akses kompetitor untuk berlaga di pilkada.

“Harusnya hal itu dibenahi serius oleh pembentuk UU,” ucap Titi.

Skema calon tunggal semestinya dilengkapi instrumen yang bisa menghadirkan pencalonan inklusif dan aksesibel bagi partai. Antara lain keberlakuan ambang batas yang rendah serta penghapusan sentralisasi pencalonan yang memberikan kendali kuasa rekomendasi absolut kepada pengurus pusat partai atau DPP.

“Untuk menjamin kompetisi yang kompetitif dan hadirnya keragaman pilihan bagi warga, seharusnya syarat calon perseorangan [independen] juga diturunkan menjadi lebih logis,” lanjut Titi.