News - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Pemohon menguji frasa ‘barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP) yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

Menurut para pemohon, berdasarkan pengalaman pribadi mereka, frasa “barang siapa” pada pasal dimaksud berpotensi ditafsirkan bahwa ayah atau ibu kandung dari anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan menculik anak kandung sendiri.

Kelima pemohon itu merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Namun, mereka tidak lagi dapat bertemu dengan buah hatinya karena sang ayah diduga membawa kabur anak.

Ketika para pemohon melaporkan perbuatan mantan suami ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP, laporan mereka tidak diterima ataupun tidak menunjukkan perkembangan dengan alasan yang membawa kabur anak adalah ayah kandungnya sendiri. Berdasarkan hal itu, para pemohon meminta kepada MK agar frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP diganti menjadi “setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak.”

Terkait itu, Mahkamah menjelaskan bahwa frasa “barang siapa” dalam pasal diuji merupakan padanan kata dari bahasa Belanda “hij die” yang merujuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan diancam pidana. Artinya, frasa tersebut mengandung makna setiap orang.

Maka, dalam konteks Pasal 330 ayat (1) KUHP, frasa “barang siapa” dengan sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak karena kata tersebut memang mengandung makna setiap orang. Sehingga MK menilai, Pasal 330 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan yang telah diatur secara jelas dan tegas, oleh karenanya ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan amar Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023.

Namun dalam pertimbangan putusan, MK menegaskan bahwa orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan dapat dipidanakan. Ini karena tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP.

“Maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP,” kata Hakim MK, Arief Hidayat.

Menurut MK, dalam menerapkan Pasal 330 ayat (1) KUHP, harus terdapat bukti bahwa kehendak untuk mengambil anak tanpa seizin orang tua pemegang hak asuh benar-benar datang dari pelaku, termasuk jika pelakunya adalah orang tua kandung anak.

“Seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak,” kata Arief.