News - Sejumlah organisasi dan elemen masyarakat mendesak Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas harus berkomitmen mengawal secara serius Pemerintah Kota Cilegon untuk segera memfasilitasi perizinan pendirian tempat ibadah yang sudah bertahun-tahun diajukan oleh gereja-gereja.

Mereka tergabung dalam Solidaritas untuk Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan.

"Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memastikan Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan jajarannya untuk memfasilitasi perizinan pendirian tempat rumah ibadah dan menghentikan praktik dan kebijakan diskriminatif," kata Koordinator Solidaritas, Angelique Maria Cuaca melalui keterangan tertulisnya, Jumat (16/9/2022).

Diketahui, Rabu (7/9/2022), sekelompok orang yang menyatakan diri sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon melakukan aksi penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.

Mereka menuntut Wali Kota Cilegon untuk melarang pendirian rumah ibadah selain masjid berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975. Mirisnya, Wali Kota Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamerta malah memberi dukungan penolakan dengan ikut menandatangani bentangan kain dari massa aksi.

Dirinya menuturkan, di Cilegon terdapat 382 masjid, 287 musala, dan 3 vihara. Namun, gereja tidak bisa berdiri. Padahal komposisi penduduk berdasarkan agama, ada 6.763 Kristen, 1753 Katolik, 218 Hindu, Buddha 1640, dan 7 lainnya berdasarkan data Provinsi Banten 2021.

"Seharusnya dengan jumlah umat Kristiani yang sesuai data itu, kebutuhan tempat ibadah di suatu kota hendaklah disediakan. Sama halnya dengan mesjid dan musala yang tersebar di setiap titik kota," ucapnya.

Perjuangan untuk mendapatkan tempat ibadah ini juga seringkali dibenturkan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Hal ini yang membuat perjuangan mendapatkan tempat ibadah melalui proses yang berbelit dan panjang. Padahal memeluk agama dan kepercayaan tela diatur di dalam pasal 28E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

Lalu, Pasal 29 Ayat 2 berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Dengan praktik diskriminasi sebagaimana tersebut di atas dan berdasarkan instrumen dan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia, maka Solidaritas mendesak Pemerintah Kota Cilegon memberikan izin pendirian tempat ibadah kepada selain masjid dan musala, agar umat beribadah dapat melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaannya.

Kemudian, FKUB Kota Cilegon harus bersikap arif dan tidak membedakan-bedakan pemeluk agama yang memiliki hak sebagai warga negara.

Lalu, Kemendagri bersikap tegas terhadap tindakan Pemkot Cilegon yang mencederai Hak Asasi Manusia khususnya dalam kebebasan berkeyakinan dan beragama. Selanjutnya, Kemenag merevisi Peraturan Bersama 2 Menteri 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

"Perlu adanya konsistensi pengaturan terkait agama antara pemerintah pusat dan daerah sehingga ke depan akan mempermudah koordinasi dan mekanisme penyelesaian masalah yang timbul di lapangan," pungkasnya.