News - Kesepian telah menjadi salah satu masalah psikologis terbesar di kehidupan modern. Sejumlah negara pun mulai menyadari pentingnya perkara ini. Inggris, misalnya, menunjuk Tracey Crouch pada 2018 sebagai Menteri Kesepian pertama di dunia. Jepang kemudian mengikuti langkah ini dengan mengangkat Tetsushi Sakamoto pada 2021 sebagai Menteri Kesepian.

Epidemik kesepian perlahan merebak di berbagai belahan dunia. Di Jepang, bahkan ada istilah kodokushi untuk menggambarkan mati kesepian di kalangan orang-orang tua. Mati merana sendirian, tanpa kawan dan sanak kerabat, yang kemudian baru diketahui setelah beberapa waktu, ketika jasadnya telah membusuk atau sudah menjadi tulang-belulang.

Menggambarkan efek kesepian ini, Korps Dinas Kesehatan Publik Amerika Serikat, Viviek Murthy, dalam buku Our Epidemic of Loneliness and Isolation (2023), menyebut bahwa impak negatif dari isolasi sosial tidak hanya menyerang sisi psikologis, melainkan juga fisik individu bersangkutan.

"[Kesepian] atau terganggunya hubungan sosial … jauh lebih buruk dari efek yang ditimbulkan obesitas serta kurangnya aktivitas fisik," tulis Murphy.

Di masa silam, para filsuf sudah memperingatkan bahaya akut kesepian. Kendati merupakan emosi wajar yang dialami manusia, jika dirasakan berlebihan akan berdampak buruk pada individu.

Karena itulah, mereka merumuskan berbagai cara demi melawan kesepian. Salah satu strategi untuk menghalau kesepian adalah menjalin hubungan dengan orang lain: berteman dan mencari kawan.

Memperdebatkan Makna Teman Sejati

Filsuf kesohor yang membahas tentang hubungan pertemanan adalah Aristoteles dalam karya filsafatnya, dari Nicomachean Ethics hingga Philia. Jika diterjemahkan, philia artinya 'pertemanan'. Aristoteles meletakkan fondasi hidup yang baik (good life), salah satunya, pada pertemanan ideal.

Secara umum, Aristoteles menjelaskan berbagai jenis pertemanan, mulai dari pertemanan di tempat kerja, tongkrongan, hingga teman dalam hubungan romantis (pacar). Dia juga mengategorikan hubungan keluarga sebagai bagian dari pertemanan. Secara spesifik, ia menyatakan bahwa hubungan pertemanan dengan keluarga merupakan hal pokok dalam kehidupan kita sebagai makhluk sosial (homo socius).

Di kehidupan modern, kita cenderung membedakan antara keluarga inti dan sanak kerabat, pasangan romantis dan teman biasa. Bahkan, turut ada istilah teman tidur dan teman tapi mesra (friends with benefit).

Hubungan pertemanan inilah yang menjadi obat kesepian. Menurut Aristoteles, “Hanya Tuhan dan binatang buas yang bisa hidup sendirian.” Sebagai makhluk sosial, fitrah manusia adalah berkawan atau menjalin pertemanan.

Akan tetapi, menurutnya, pertemanan ideal semestinya hanya berdasarkan etika kebajikan. “Seseorang hanya berhak dicintai jika memiliki karakter baik,” ujar Aristoteles. Bagaimanapun, cinta dan kasih sayang hanya diperuntukkan pada hal-hal baik, lanjutnya.

Persahabatan sejati, sebagaimana juga kebajikan sejati, adalah hal yang amat jarang ditemui. Karena itu, pandangan pertemanan ala Aristoteles mendapat kritik tajam. Filsuf modern asal Inggris, Kieran Setiya, dalam Life is Hard (2002), memandang bahwa konsep pertemanan menurut Aristoteles adalah pertemanan transaksional.

Penggambaran pertemanan sejati tersebut dicontohkan dalam karya Homer, The Iliad, yang mengisahkan hubungan Achilles dan Patroclus. Keduanya saling cinta sebagai sepasang sahabat (cinta platonik), yang mungkin sukar ditemui dalam kehidupan sekarang.

Dalam perang Troya, Achilles, yang mulanya enggan bertempur, terbujuk kembali ke medan perang karena kematian Patroclus. Demi persahabatan, Achilles rela terjun ke palagan dan membalas dendam atas kematian Patroclus. Berkat itu pula akhirnya Troya jatuh ke tangan tentara Yunani, sebagaimana digambarkan lewat film Troy(2004) besutan sutradara Wolfgang Petersen.

Jika merujuk pada Aristoteles, persahabatan semacam itu sukar dicapai. Namun, menurut Kieran Setiya, kita sebenarnya dapat berteman tanpa harus menjadi pahlawan perang atau negarawan yang berjasa pada bangsa dan tanah air.

“Tanpa harus berbuat kebajikan pun, semua orang berhak berteman dengan lainnya. Seseorang berhak dicintai sebagai teman bahkan dalam kondisi terpuruk sekalipun,” tulis Kieran (Hlm. 46).

Jika membayangkan kata teman, sederhananya, yang terbayang di benak saya adalah orang-orang yang nongkrong bersama, kongko, tertawa-tawa sambil minum kopi di warkop, menimpali canda dan olokan satu sama lain, saling curhat, nonton film bersama, berolahraga bersama, dan sebagainya.

Ilustrasi vektor kartun jogging

Ilustrasi vektor kartun jogging. FOTO/iStockphoto

Tidak harus menjadi sosok bijak bestari untuk bisa ditemani. Sebagian teman memang ada yang berkarakter baik dan mulia, tetapi ada juga yang tidak. Keduanya tetap layak ditemani, selagi tidak merugikan satu sama lain.

Merenungkan konsep pertemanan Aristoteles, seakan-akan ia menempatkan pertemanan sebagai hal meritokrasi, dengan syarat harus menjadi orang baik (atau berbuat baik).

“Awalnya, seseorang mungkin menerima temannya sebagai orang baik. Namun, [seiring berjalan waktu], ia berubah menjadi orang jahat,” Aristoteles memulai penjelasannya dalam Nicomachean Ethics (2002, terjemahan W.D. Ross). “Apakah ia masih layak dicintai [sebagai teman]? Tidak mungkin. Tidak semua hal dapat dicintai, kecuali hal-hal baik saja."

Pertemanan, menurut Aristoteles, seakan-akan seperti baju. Jika sudah usang dan kehilangan kualitas-kualitas baik sebagai seorang teman, ia tidak lagi layak ditemani.

Bukan berarti juga pertemanan seharusnya tak bersyarat (unconditional), meskipun dalam beberapa kasus dapat terjadi. Namun, ada kualitas lain yang melekat pada diri individu sehingga kita tidak bisa melepas-buang pertemanan sekadar karena karakter-karakter yang menempel pada diri kita.

Karena itulah, menurut Kieran Setiya, kekeliruan Aristoteles adalah meletakkan konsep cinta (termasuk cinta platonik) pada karakter orang bersangkutan. “Padahal, manusia bukan terdiri dari karakter-karakter saja,” ungkap Kieran.