News - Saat Westerling membantai ribuan rakyat Sulawesi Selatan, Mattulada yang saat itu berusia 18 tahun, nyaris menjadi korban. Ia waktu itu mendekam di penjara Bulukumba, sebuah kabupaten di tenggara kota Makassar.

“Saya resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa,” ujarnya.

Kala itu, banyak tawanan yang sering dijemput tentara dan tidak pernah kembali.

“Seandainya Kepala Polisi Sulawesi Selatan, La Tippa, tidak kebetulan berkunjung ke penjara Bulukumba, pada 7 Januari 1947, barangkali kita tak kenal lagi Mattulada, seorang pemikir dari Ujung Pandang,” tulis salah satu muridnya, M. Dahlan Abu Bakar, dalam Mattulada, dari Pejuang hingga Ilmuwan (2023).

Pada 17 Juli 1976, Mattulada menentang pergantian julukan kota Makassar menjadi Ujung Pandang. Bersama Andi Zainal Abidin Farid dan H.D. Mangemba, mereka mengeluarkan Petisi Makassar yang ditujukan kepada Walikota Daeng Pattompo dan DPRD Kota Ujung Pandang.

"Berdasar penemuan, keyakinan dan tanggung jawab kami, baik secara bersama-sama maupun masing-masing, kota ini bernama Makassar. Demi ketulusan dan hasrat kita semua untuk menegakkan kejujuran dan keluhuran namanya Makassar," isi petisi itu.

Mattulada percaya bahwa nama Makassar memiliki makna dan nilai historis yang sangat penting bagi identitas masyarakat Sulawesi Selatan. Menurutnya, perubahan nama tersebut akan mengaburkan sejarah dan merusak warisan budaya yang telah ada sejak zaman dulu.

Tidak Betah Jadi Polisi

Prof. Dr. Ahmad Mattulada merupakan sosok yang memiliki banyak sisi, tidak hanya unggul dalam bidang akademis tetapi juga dalam dinas militer saat menjadi anggota Gerilya Sulawesi Selatan pada masa revolusi.

Hingga tahun 1950, ia menjadi anggota Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) dan ditunjuk sebagai Ajudan Inspektur yang tugasnya menyelidiki para penjahat politik.

Ia lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 15 November 1928 sebagai anak sulung dari lima bersaudara. Nama kecilnya Mattola Adeq, diberikan oleh sang ayah seorang kepala adat di tanah kelahirannya yang memiliki makna “Pengemban Adat” dalam bahasa Bugis.

Sementara nama panggilannya, Mat, kerap disandarkan kerabat dan teman sebayanya. Sembari mengenyam pendidikan dasar Schakel School pada 1942, ia juga sekolah agama di Mualimin Muhammadiyah.

Karakternya yang luwes dan kuat dalam memegang prinsip merupakan didikan ayahnya, A. Palellungi Dg. Manrapi, seorang pensiunan kepala negeri dan anggota aktif Muhammadiyah.

“Terciptalah dalam diri saya dua pola secara bersamaan, adat dan agama,” tuturnya dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1986).

Setelah Indonesia merdeka, ia pindah ke Makassar dan menyelesaikan pendidikan SMP dan SMA. Pada masa inilah ia mulai aktif dan bergabung dalam barisan tentara pelajar hingga berpangkat letnan, lalu mengantarkannya berkarier di kepolisian.

Memasuki tahun 1953, ia menikahi Asia Ressang sebagai komitmen terhadap keluarga di samping sebagai penyemangatnya dalam berkarier. Mereka dikarunia empat orang anak.

Bosan jadi polisi, pada 1956 Mattulada kerja menjadi guru di SMA Negeri 1 Makassar sembari menimba ilmu di Pendidikan Guru SLA yang diselesaikannya pada 1957. Di tahun itu pula ia menorehkan akte B1--setingkat Diploma 1—bidang ilmu hukum.

Gayung bersambut, prestasinya sebagai pendidik mendapat kepercayaan dari pemerintah Sulawesi Selatan dengan menempatkannya sebagai kepala sekolah di SMA Negeri 3 Makassar dari tahun 1956 hingga 1961, dan di SMA Negeri 1 Makassar pada 1961 hingga tahun 1966.

Selama menjadi kepala sekolah, selain membenahi sistem pembelajaran yang masih belum stabil, Mattulada juga menerapkan disiplin yang ketat, termasuk aturan-aturan yang berkaitan dengan kedisiplinan siswa dan guru, termasuk peningkatan kualitas pembelajaran.

Sambil kuliah sastra di Universitas Hasanuddin, dia meraih gelar sarjananya pada 1964.