News - Hampir satu abad, kantor majalah Panjebar Semangat berdiri tegak di bilangan Gedung Nasional Indonesia No. 1-25, Kecamatan Bubutan, Surabaya. Lokasinya berada di gang kecil, kira-kira 1 kilometer sebelah barat Taman Tugu Pahlawan.

Selasa (20/1/2025), saya menyambangi kantor itu. Di pelataran, udara terasa sejuk, hujan sebentar lagi turun. Dari balik pintu, seorang pria berkumis menyambut. Usianya kira-kira kepala empat. Ia memperlakukan saya layaknya kawan sebaya.

Sudah tahu maksud kedatangan saya setelah bincang-bincang sebelumnya di aplikasi perpesanan, ia mulai mengingat apa-apa yang terjadi di masa silam. Alisnya meraut dan wajahnya beringsut, tanda ia mulai menilik berbagai peristiwa dalam separuh hidupnya.

“Saya bekerja di majalah ini sejak tahun 1998. Saat itu, saya masih mahasiswa. Dulu mau keluar nggak boleh, disuruh tetap di sini saja. Sampai kemudian saya menjadi staf redaksi,” kata Kukuh Wibowo, pria 40 tahunan itu.

Dari Siasat hingga Adaptasi

Majalah Panjebar Semangat memakai ejaan jawa sebagai bahasa penulisan. Tapi bukan jawa ngoko lugu macam orang Surabaya pada umumnya yang memang kental dengan subkultur arek. Tapi bahasa ngoko alus, campuran ngoko dengan kromo inggil yang biasanya digunakan untuk bercakap dengan orang yang lebih tua.

Bagi orang macam saya yang tak begitu dididik dalam struktur kebahasaan seperti itu, dahi langsung mengernyit begitu membaca satu kalimat dalam majalah itu. Saya perlu membaca lagi dan lagi untuk memahami makna yang ingin disampaikan dalam satu kalimat. Kukuh hanya senyum melihatnya. Seolah memaklumi orang-orang yang lahir di era saya.

“Majalah ini dulu didirikan oleh Soetomo untuk melawan penjajahan Belanda,” ungkapnya.

Menurutnya, majalah ini didirikan oleh Soetomo pada tahun 1933. Kala itu masih berbentuk koran dan diterbitkan hanya beberapa bulan setelah surat kabar Soeara Oemoem milik Soetomo dibredel. Pembredelan ini, kata Kukuh, terkait dengan dukungan Soera Oemoem pada pemogokan yang dilakukan oleh angkatan laut di Hindia Belanda.

“Saya tidak begitu ingat ceritanya bagaimana. Nanti sampeyan cek lagi ya soal itu,” ujarnya.

Seingat saya peristiwa itu pernah dipotret oleh Andi Achdian dalam buku Ras, Kelas, Bangsa: Politik Pergerakan Anti-Kolonial di Surabaya Abad ke 20. Kala itu krisis besar sedang menghajar Hindia Belanda.