News - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menyidik anggota TNI aktif yang terjerat dugaan tindakan korupsi dengan warga sipil. Hal ini ditegaskan putusan MK Nomor 87/PPU-XXI/2023 terkait uji materi Pasal 42 Undang-Undang KPK yang ajukan oleh Gugum Ridho Putra. MK mengabulkan permohonan Ridho sebagian yang diputus dalam sidang pada pekan lalu.

Sebelum putusan MK, Pasal 42 UU KPK berbunyi: KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Kemudian MK menambahkan bagian akhir, berbunyi: “Sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK.”

Ridho, seorang advokat, memang melayangkan uji materi ini karena kecewa terhadap KPK dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan pihak militer. MK jadi menegaskan posisi KPK dalam perkara korupsi koneksitas atau yang dilakukan bersama-sama antara warga sipil dan prajurit TNI. Sepanjang proses penegakan hukum ditangani sejak awal oleh KPK, lembaga antirasuah tidak berkewajiban untuk menyerahkan perkara tipikor tersebut kepada oditurat dan peradilan militer.

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menilai putusan MK terkait uji materi Pasal 42 UU KPK merupakan sebuah penegasan. MK menegaskan hak dan kewenangan yang sejatinya telah dimiliki oleh KPK, yakni melakukan upaya penindakan perkara korupsi yang subjek hukumnya berasal dari instansi militer.

Putusan MK ini perlu disambut baik KPK sebagai modalitas membongkar penyelewengan anggaran atau dana di sektor yang diyakini sulit untuk diawasi, termasuk oleh penegak hukum. Maka dari itu, kata Diky, mengingat anggaran pertahanan negara begitu besar, KPK dapat segera memetakan titik-titik rawan potensi penyalahgunaan anggaran.

“Jika ditemukan bahwa terdapat potensi tindak pidana korupsi, maka sudah sepatutnya upaya penyelidikan dan penyidikan berada pada satu atap di KPK, termasuk jika diduga melibatkan anggota TNI aktif,” kata Diky saat menjelaskan konsekuensi putusan MK kepada reporter Tirto, Rabu (4/12/2024).

Gedung Mahkamah Konstitusi

Gedung MK Tampak depan Jumat 14/6/2019. News/Bayu septianto

Putusan MK menjadi penanda tidak boleh lagi terulang kejadian memalukan pimpinan KPK yang meminta maaf sebab telah mengusut perkara korupsi yang melibatkan prajurit aktif. Peristiwa ini mengacu pada kejadian tanggal 31 Juli 2023 lalu, pimpinan KPK Johanis Tanak meminta maaf di hadapan Puspom TNI karena lembaganya mengusut kasus korupsi yang melibatkan Kepala Badan SAR Nasional yang juga anggota TNI aktif, Henri Alfiandi.

Rombongan Puspom TNI "menggeruduk" kantor KPK usai OTT yang sukses mencokok Henri. Setelah itu, pimpinan KPK justru terkesan menyalahkan jajaran deputi penindakan KPK yang mengusut perkara dugaan korupsi di Basarnas. ICW melihat peristiwa itu mencoreng marwah KPK yang melempem sebab ditekan pihak lain. Sekaligus mencerminkan minimnya pengetahuan pimpinan KPK akan kewenangan lembaga antirasuah.

“Dalam konteks tersebut, terlihat bahwa sebenarnya Johanis Tanak tidak memahami secara utuh kewenangan melekat yang dimiliki oleh institusinya,” ujar Diky.

Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), Lakso Anindito, meyakini putusan MK menegaskan posisi KPK sebagai lembaga utama pemberantasan korupsi. Hal tersebut mengingat putusan MK menegaskan bahwa tidak ada batasan bagi KPK untuk menjangkau penanganan korupsi pada berbagai sektor, termasuk militer. Putusan MK tidak memberikan lagi alasan bagi pimpinan KPK enggan menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota militer aktif dalam kerangka koneksitas.

Tidak boleh lagi ada pengecualian penanganan kasus yang dilakukan KPK dengan berbagai alasan maupun tekanan. Di sisi lain, kata Lakso, sudah semestinya TNI menyambut putusan MK dengan sikap kooperatif sebagai bagian institusi negara yang mendukung kerja KPK. TNI harus bisa kooperatif dengan KPK selama penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan saat melakukan penanganan Tipikor yang melibatkan prajurit.

Putusan MK, juga akan menjadi angin segar bagi kelembagaan TNI. Lakso menilai putusan MK merupakan momentum perbaikan tata kelola penegakan hukum di internal TNI. Melalui putusan MK, TNI diharapkan responsif melakukan berbagai langkah yang dibutuhkan untuk memperbaiki tata kelola internal mereka. Mengingat selama ini terdapat kritik akuntabilitas dan transparansi sistem pengadaan di bidang militer dengan alasan keamanan negara.

“TNI dan Kementerian Pertahanan harus lebih membangun sistem yang akuntabel,” ucap Lakso kepada reporter Tirto, Rabu.