News - Naskah Wangsakerta yang berisi enam judul tulisan danterus-menerus menjadi bahan perdebatan disebut-sebut muncul atas prakarsa Pangeran Wangsakerta dari Cirebon yang memimpin "konferensi ilmiah" bernama gotrasawala.

Ditulis pada sekitar abad ke-17, isi dari naskah ini menguraikan sejarah kebudayaan di Nusantara paling tidak sejak abad pertama Masehi.

Meski seakan mengisi kekosongan data sejarah kuno, naskah ini justru janggal di mata para sejarawan dan filolog. Ahli sejarah kebudayaan Hindu-Buddha, Boechari, secara khusus membuat kritik tajam terhadap NaskahWangsakerta lewat tulisannya berjudul "Beberapa Kritik atas Naskah-Naskah Wangsakerta” (1988).

Menurut Boechari, kejanggalan utama naskah ini terletak dari unsur kebahasaan, si penulis naskah entah mengapa menggunakan bahasa Jawa Kuno. Padahal. bahasa Jawa Kuno tidak lazim digunakan di lingkungan keraton Islam seperti Cirebon.

Bahasa Jawa Kuno terakhir digunakan di keraton Jawa yakni pada masa akhir Kerajaan Majapahit atau terpaut tiga abad dari naskah tersebut. Keanehan lainnya yang dijumpai Boechari adalah keabsahan narasi sejarah, asal-usul penemuan naskah, dan aspek-aspek krusial lainnya.

Di luar tudingan palsu terhadap Naskah Wangsakerta, sosok Pangeran Wangsakerta bukanlah tokoh ahistoris. Sosok ini muncul sebagai salah satu aktor utama dalam drama pergolakan politik Jawa setelah mangkatnya Sultan Agung pada akhir abad ke-17.

Kendati Wangsakerta menjadi semacam monumen bagi sejarah Cirebon, dalam arus sejarah sosok ini malah seakan dicurangi takdir. Ia tersisih dari panggung sejarah tanpa meninggalkan jejak berarti selain naskah yang membingungkan para sejarawan dan filolog.