News - Nusantara adalah sumber insipirasi bagi para petualang pionir Eropa ke Benua Asia. Sebenarnya tidak hanya rempah, emas juga menjadi incaran mereka. Rempah dicari di Maluku, emas di Malaka. Dua tempat ini paling awal dikuasai oleh Portugis.

Selama abad ke-16, emas yang diperdagangkan dengan bangsa-bangsa Eropa berasal dari tambang-tambang pribumi. Perdagangan pun tidak hanya dilakukan dengan cara menunggu. Portugis, misalnya, bersikap proaktif dengan mengirim utusan dagang hingga ke raja-raja di pedalaman Sumatra Tengah. Belanda yang menggantikan Portugis menguasai lokasi-lokasi strategis Nusantara lebih intensif dalam mencari sumber emas.

Pada akhir abad ke-17, VOC sebagai perusahaan swasta terbesar berbasis saham dalam sejarah Belanda memutuskan berinvestasi dengan menambang emas di Salido, sekitar 69 km selatan Padang, menggusur sejumlah tambang pribumi yang telah berabad-abad hadir di sana.

Setelah Salido ditinggalkan karena dianggap rugi, Belanda baru serius kembali melakukan eksplorasi potensi mineral tambang, khususnya emas di paruh kedua abad ke-19. Untuk emas Hindia Belanda, eksplorasi perdana dilakukan di Sumatra Barat. Pencarian sumber emas sebagian besar dilakukan di lokasi-lokasi tambang aktif atau bekas tambang lama pribumi.

Mengetahui seberapa banyak emas telah dikeluarkan oleh Belanda dalam tambang-tambang yang umumnya dibuka oleh para pengusaha swastanya, menjadi indikasi akan kekayaan mineral ini di Nusantara.

Dari tambang emas Salido, informasi jumlah atau tepatnya nilai emas yang berhasil diproduksi diperoleh dari karya Reinier D Verbeek, De Zilver- en Goudmijnen van Salida op Sumatra’s Westkust (1880).

Disebutkan bahwa dari awal penambangan pada 1670 hingga 1687 telah diperoleh sebesar 403.133 gulden dari Salido. Nilai ini tidak hanya emas, tapi juga perak yang sering kali menyertainya. Jika kita konversikan dengan kasar, nilai ini setara dengan 80 miliar rupiah sekarang.

Meskipun menggiurkan, ternyata biaya penambangan lebih besar dari itu: 473.143 gulden. Kemudian, untuk 1690-1694, VOC meraup 174.000 gulden, tapi lagi-lagi ini angka rugi karena total biaya operasionalnya 276.000 gulden.

Tahun 1698 keluar perintah untuk tidak lagi mengurus Salido. Namun, pada 1720 tambang ini dilirik kembali oleh para bewindhebbers. VOC masih melanjutkan kegiatan penambangan di sini hingga dihentikan sama sekali pada Agustus 1737, dengan hasil yang ternyata sama mengecewakan dibanding dengan biaya pengerjaan.

Jadi, VOC total hanya 38 tahun menambang Salido, dengan rata-rata hasilnya sekitar 40.000 gulden per tahun. Nilai ini sekitar 8 miliar rupiah sekarang atau setara harga 8 kg emas. Sehingga, perkiraan minimal dari tambang Salido ini VOC telah mengangkut sekitar 304 kg emas, jumlah yang tidak terlalu fantastis dibanding goudmijnen partikelir Belanda pada 1900-an.

Sumatra’s Westkust juga menjadi wilayah operasi perusahaan tambang emas Hindia Belanda pertama, yakni Mijnbouw Maatschappij Sumatra di konsesi Supayang, kawasan tambang emas pribumi. Meski deposit signifikan di sana pertama kali dideteksi secara ilmiah oleh Rogier DM Verbeek, insinyur tambang lain Reinier D Verbeek lah yang mulai serius investigasi wilayah ini untuk tujuan tambang komersial pada 1878.