News - Pada musim panas 2010, seorang karyawan Google bernama Kevin Systrom menghabiskan waktu liburan bersama pacarnya, Nicole Schuetz, di tepian pantai Meksiko. Suatu kali, Systrom yang tengah mengembangkan proyek aplikasi berbagi foto dan lokasi bernama Burnb, meminta Schuetz untuk mengunggah hasil jepretannya ke dalam aplikasi tersebut. Namun sang pacar menolak menuruti permintaan Systrom. Rupanya, dia sebal karena iPhone 4 yang baru dibelinya tidak memberikan hasil gambar yang diinginkan. Kualitas kameranya buruk sehingga menghasilkan foto yang jelek.

Systrom memutar otak. Mengubah kualitas kamera adalah hal yang mustahil. Satu-satunya cara yang lulusan Stanford University itu lakukan adalah menjadikan foto asli menjadi lebih baik dengan menggunakan berbagai teknik editing. Dari sini Systrom merancang fitur yang akan membuat gambar terlihat berbeda dan mampu menutupi keburukan kamera iPhone 4. Tak berapa lama, lahirlah filter X-Pro II yang bernuansa jadul. Filter itu langsung diujicobakan pada gambar anjing dan kaki Schuetz dengan ukuran 1:1, layaknya Polaroid, lalu diunggah pada Juli 2010 di aplikasi Burnb.

Namun, aplikasi garapan Systrom mandek karena terlalu rumit. Para pengguna cukup bingung dengan fitur-fiturnya. Systrom kemudian mengubah aplikasi buatannya. Kali ini ia menggandeng Mike Krieger, pemrogram yang juga lulusan Stanford. Keduanya sepakat untuk fokus mengembangkan aplikasi yang khusus untuk berbagi foto digital dan mampu diunggah dengan cepat atau instan.

Alasan yang mendasari pemilihan ini cukup sederhana, yaitu karena manusia sudah sejak lama senang menangkap dan mengabadikan suatu momen. Apalagi pada saat yang bersamaan, belum ada aplikasi seperti yang diinginkan keduanya. Facebook dan Twitter, misalnya, belum memiliki fitur unggah foto, hanya berbagi kata-kata. Sedangkan Flickr, meski sudah dapat mengunggah foto, namun membutuhkan waktu lama. Artinya, peluang untuk mengembangkan aplikasi khusus berbagi foto secara cepat terbuka lebar.

Maka pada 6 Oktober 2010, tepat hari ini 11 tahun lalu, keduanya resmi mengubah Burnb dan meluncurkan Instagram, aplikasi berbagi foto secara instan.

Dibeli Facebook adalah Kunci

Pada hari pertama kemunculannya, Instagram langsung disambut oleh banyak orang. Tercatat sekitar 10-25 ribu orang mengunduh dan menjadi pengguna Instagram. Angka ini terus meningkat menjadi ratusan ribu pada bulan-bulan berikutnya. Bahkan dalam kurun satu tahun, angkanya menembus 10 juta. Meski demikian, angka tersebut masih tergolong kecil dibandingkan para “seniornya”, seperti Facebook dan Twitter yang sudah memiliki ratusan juta pengguna pada September 2011.

Terus meningkatnya angka pengguna, membuat banyak orang memprediksi bahwa Instagram akan menjadi aplikasi terbaik di masa depan. Namun, potensi besar ini tidak sejalan dengan manajemen internal yang baik. Hingga dua tahun usianya, Instagram hanya memiliki 13 karyawan. Penyebabnya karena Systrom sebagai pimpinan terlalu selektif menerima karyawan. Dia hanya menerima karyawan yang memiliki kualitas terbaik.

Tindakan tersebut tentu baik, tetapi sangat tidak proposional untuk mengurusi aplikasi yang terus mengalami kenaikan pengguna dan semakin besar. Ditambah lagi dari segi finansial, aplikasi besutan Systrom ini belum mendapatkan keuntungan sedikitpun akibat belum dikelola dengan baik. Kekurangan pada pengelolaan internal Instagram inilah yang membuat Facebook melirik Instagram untuk pertama kalinya.

Sepengakuan Kevin Systrom dalam wawancaranya dengan Guardian, sejak awal tahun 2012 Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, rutin menemuinya bahkan sampai “mengejar-ngejar” dirinya. Pertemuan itu dilakukan sebagai ajang negosiasi Zuckerberg kepada Systrom terkait pembelian Instagram. Zuckerberg, sebagaimana dikutip oleh jurnalis Sarah Frier dalam No Filters: The Inside Story of Intagram (2020), ketika ditanya alasan keiginannya membeli aplikasi berbagi gambar itu menuturkan, “Instagram adalah layanan hebat dan kami ingin membantunya tumbuh.”

Pernyataan bos Facebook itu cukup rasional. Namun banyak yang menduga bahwa niat pembelian tersebut mencerminkan sikap Zuckerberg yang takut bahwa Instagram akan mengalahkan dominasi Facebook di masa depan. Singkatnya, Zuckerberg berupaya mengamankan posisi hegemoni perusahaannya agar tidak tersaingi dengan cara membeli perusahaan pesaingnya.