News - Seni ukir dan Jepara kerap tak bisa dipisahkan. Namun, sejak kapan keterampilan tersebut ditekuni oleh penduduknya masih menjadi pertanyaan. Sebuah petunjuk adalah masjid yang berdiri pada era Ratu Kalinyamat.

Masjid Mantingan, begitu masjid itu dikenal, didirikan oleh suami Ratu Kalinyamat yang bernama Pangeran Hadiri. Hiasan batu dengan ukiran halus menjadi pertanda bahwa pembangunan masjid tersebut bersamaan waktunya dengan perkembangan seni ukir di Jepara.

Jejak Islam, Champa, dan Tiongkok

Menurut Agus Dono Karmadi dan M. Soenjata Kartadarmadja dalam buku Sejarah Perkembangan Seni Ukir di Jepara (1985:7), Pangeran Hadiri adalah bangsawan Kerajaan Aceh putra Sultan Ibrahim Mughayat Syah. Meski ditetapkan sebagai putra mahkota, dia memilih jalan asketis dengan mengembara dan menyebarkan Islam di Champa sebelum pindah ke Jawa dan menetap di Kriyan, saat ini masuk Kecamatan Pecangaan, Jepara.

Kriyan adalah daerah yang menjadi bagian dari kerajaan Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggono sekaligus cucu Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak. Ratu Kalinyamat dikenal sebagai pemimpin perempuan yang perkasa. Pada tahun 1574 dia menyerang Portugis di Malaka dengan kekuatan 15 ribu prajurit dan 300 jung (perahu besar), 80 di antaranya memiliki berat 400 ton.

Sebagai bangsawan Kerajaan Aceh, Pangeran Hadiri mendapat penghormatan dari Ratu Kalinyamat bahkan menikah dengannya. Dia kemudian berkuasa atas Jepara, Pati, Rembang, dan Blora. Untuk menyebarkan agama Islam, dia menjadikan Desa Pementingan, asal muasal nama Mantingan, sebagai pusat dakwah.

Pangeran Hadiri selanjutnya mengundang Chi Hui Gwan, ayah angkatnya di Champa, ke Jepara dan menjadikannya patih. Ketika berencana mendirikan masjid, dia meminta Chi Hui Gwan, selanjutnya dikenal dengan Patih Sungging Badan Duwung, untuk menangani pembuatan hiasan masjid tersebut.

Patih Sungging Badan Duwung yang memang ahli ukir mendatangkan batu-batu dari Tiongkok untuk diukir dengan dibantu oleh penduduk sekitar. Dilibatkannya penduduk dalam proyek itu membuat mereka mengenal seni ukir. Pada periode berikutnya, karena batu-batu di Jepara tidak cocok untuk diukir, mereka beralih pada media kayu. Dari situlah seni ukir Jepara bermula.

Versi lain tentang cikal bakal tradisi ukir di Jepara bermula dari legenda Prabangkara, seorang ahli ukir Kerajaan Majapahit. Suatu ketika Raja Majapahit yakni Prabu Brawijaya memerintahkannya membuat patung permaisuri tanpa busana. Bukan tugas yang berat sebenarnya jika raja tidak melarang Prabangkara menatap permaisurinya itu.

Dengan berbekal ingatan, imajinasi, dan keahliannya, Prabangkara menyelesaikan tugas dengan sempurna. Namun, justru di situlah petaka berawal. Kemiripan patung buatannya dengan permaisuri membuat raja curiga Prabangkara telah melanggar titahnya. Dia pun dihukum dengan cara diikat bersama alat ukirnya pada sebuah layang-layang raksasa.

Saat melayang di udara, tali layang-layang itu diputus. Layang-layang tak bertuan itu terus terbang hingga melintas di langit Jepara. Di suatu daerah yang bernama Belakang Gunung, alat-alat ukir Prabangkara berjatuhan. Prabangkara sendiri tidak diketahui nasibnya. Bermula dari peristiwa itu seni ukir merambah Jepara.