News - Perdebatan soal program bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang tidak tepat sasaran masih bergulir kencang.

Bantuan masyarakat miskin atau rentan miskin supaya bisa mengenyam pendidikan tinggi ini, didesak tepat guna sesuai sasaran. Jika perlu, dilakukan evaluasi sistematika pemberian atau penyaluran KIP Kuliah agar tidak salah target.

Salah satu kritik yang muncul terlontar dari Staf Khusus Presiden Bidang Pendidikan dan Inovasi, Billy Gracia Josaphat Jobel Mambrasar. Dia menyoal jalur penyaluran KIP Kuliah lewat aspirasi anggota Dewan (DPR/DPD).

Menurut Billy, dalam konteks Program KIP, lembaga legislatif seperti DPR seharusnya tidak terlibat melakukan eksekusi program yang sejatinya dilaksanakan oleh lembaga eksekutif.

“Dalam hal ini, Kemendikbudristek [seharusnya yang berwenang]. Ini namanya offside administrasi negara,” kata Billy kepada reporter Tirto, Senin (13/5/2024).

Billy memandang, subjektivitas anggota DPR memilih calon penerima KIP Kuliah membuat prinsip transparansi sebuah program pemerintah menjadi kabur. Terlebih, dia khawatir kewenangan ini menjadikan KIP Kuliah sebagai alat untuk melanggengkan pemilih atau konstituen demi kepentingan elektoral.

“Proses seleksi harus terbuka dan transparan, tidak boleh ada proses penjatahan jalur aspirasi atau jalur lain yang tertutup dari masyarakat,” ujarnya.

Billy berujar, secara konstitusional, mulai Pasal 1 hingga pasal 16 dari Permendikbud Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar, tidak ada satu pasal dan butir ayat pun menyebut DPR merupakan entitas yang terlibat dalam eksekusi program KIP.

Jika dilihat dalam aturan tersebut di Pasal 7, memang hanya disebut bahwa pemangku kepentingan bisa merekomendasikan data calon penerima KIP ke satuan pendidikan. Namun tidak disebut secara eksplisit bahwa DPR atau anggota dewan sebagai pemangku kepentingan.

“Ingat, bahwa DPR sendiri sudah diberikan jatah dan amanat anggaran aspirasi, yang saat reses biasa mereka pergunakan untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat konstituen mereka,” pesan Billy.

Dugaan salah sasaran penyaluran bantuan KIP Kuliah bermula dari terkuaknya gaya hidup serba berkecukupan mahasiswi Universitas Diponegoro yang merupakan penerima KIP Kuliah.

Menyusul kasus tersebut, pengakuan serupa marak di media sosial dari berbagai kampus. Hal ini menjadi problem miris di tengah guyuran keluh mahasiswa berbagai kampus yang protes biaya UKT semakin mahal.

KIP Kuliah merupakan salah satu Program Prioritas Nasional besutan Presiden Joko Widodo yang menggantikan program bantuan Bidikmisi era Susilo Bambang Yudhoyono.

KIP Kuliah bertujuan untuk meningkatkan perluasan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi secara lebih merata dan berkualitas bagi masyarakat yang kurang atau tidak mampu secara ekonomi.

Prioritas lainnya diperuntukan bagi mahasiswa yang berasal dari daerah 3T, orang asli Papua sesuai UU otonomi khusus, juga TKI yang berlokasi di perbatasan NKRI. Pada 2023, total perguruan tinggi yang menerima mahasiswa KIP Kuliah sebanyak 2.064 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai KIP Kuliah jalur aspirasi anggota DPR memiliki kekurangan dan kelebihan.

Sisi positifnya, KIP Kuliah jalur aspirasi ini dapat membuat konstituen anggota DPR yang memenuhi syarat bisa lebih mudah terdata dan bisa diajukan bantuan.

Namun, yang menjadi soal, KIP Kuliah malah menjadi alat kepentingan politik untuk mengakomodasi suara konstituen di daerah pemilihan (Dapil) anggota Dewan. Praktik culas ini dapat berupa barter atau kompensasi dari upaya mengumpulkan suara pemilih.

”Barter konstituen itu artinya ada janji-janji politik kepada orang yang sebenarnya tidak tepat untuk diberikan KIP,” kata Satria kepada reporter Tirto, Senin (13/5/2024).

Selain itu, kata dia, diduga ada praktik potongan bantuan kepada penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran tersebut. Satria menilai seharusnya cukup Kemendikbudristek dan Kementerian Sosial yang mengurusi data calon penerima KIP Kuliah. Sehingga memastikan bahwa jalur aspirasi atau representasi betul-betul terlaksana, bukan berdasarkan titipan atau paketan yang dimiliki anggota dewan.

“Sehingga KIP itu tepat sasaran ya, bukan akhirnya menjadikan orang yang tidak tepat mendapat KIP. Misalkan terjadi di beberapa kampus, katakanlah di Undip dan sebagainya justru digunakan untuk flexing,” ujar Satria.