News - Kekerasan terhadap jurnalis kian serius, terutama di tahun politik. Tidak hanya kekerasan fisik, kekerasan secara digital juga semakin marak. Sayangnya, perlindungan bagi jurnalis masih sangat minim, terutama dalam soal kriminalisasi.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyebut hingga kini belum ada regulasi yang memadai untuk melindungi para jurnalis dalam menjalankan tugas.

Ketidaktahuan publik tentang tugas jurnalis juga terkadang menyebabkan banyak pihak yang masih melakukan intimidasi hingga menghalang-halangi proses peliputan.

“Dan kita tahu bahwa betapa rentannya kondisi keamanan jurnalis saat ini. Kita melihat bahwa memang perlindungan terhadap jurnalis itu kecil banget. Sedikit banget, dan bahkan tidak ada,” jelas Nany dalam Podcast For Your Politics di kantor Tirto, Jakarta.

Dari banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis, kata Nany, hanya segelintir yang berhasil dibawa ke meja hijau. Dari segelintir itu, ironisnya cuma aktor-aktor yang menjadi eksekutornya saja ditindak dan bukan orang yang ada di belakangnya.

“Jadi kami lagi mencoba untuk terus mendorong supaya pemerintah pedulilah sama kami, dalam artian di-protect. karena kita pilar keempat demokrasi. Kita yang melihat bagaimana kita itu anjing penjaga. Harusnya kita dijaga dengan betul-betul dan baik. Bukan malah kalau terjadi apa-apa malah dibiarkan begitu saja,” ungkapnya.

Isu kekerasan terhadap jurnalis menjadi lebih kompleks dengan rencana revisi UU Pers. Banyak pihak sepakat bahwa revisi perlu dilakukan untuk menjaga relevansi UU dengan situasi saat ini. Namun, ada kekhawatiran bahwa perubahan tersebut bisa mengubah hal-hal baik yang sudah ada, salah satunya yang spesifik menyebut pelarangan liputan investigasi.

Kepada Tirto, Nany Afrida membahas lebih lanjut tentang berbagai tantangan yang dihadapi jurnalis di Indonesia saat ini. Berikut petikan wawancaranya:

Bagimana Mbak Nany melihat tren peningkatan kekerasan terhadap jurnalis?

Sebenarnya kalau kita lihat memang meningkat ya. Karena di 2023 sendiri sekitar 90-an kasus kalau versinya AJI. Jadi AJI Indonesia itu mendata setiap kali ada insiden berdasarkan informasi dari teman-teman di AJI kota. Kebetulan kita punya 40 AJI kota dengan jumlah anggotanya sekitar 1.800.

Jadi mereka memberikan informasi sama kita. Dan kita juga punya website khusus untuk advokasi. Itu namanya advokasi.org.id. Di situ semua informasi tentang kekerasan, kemudian jenis-jenis kekerasan, pelakunya, itu semua ada di situ. Jadi berdasarkan laporan-laporan yang masuk.

Jumlahnya bertambah dan kita akui memang tahun kemarin tahun politik pemilihan presiden. Tapi kan ke depannya pemilihan kepala daerah dan itu lebih rentan juga, karena ada ratusan kepala daerah yang akan dipilih.

Kekerasan terhadap jurnalis kalau AJI lihat [dipengaruhi] berbagai faktor. Terutama faktor bahwa masih banyak orang-orang yang tidak mengerti gimana cara kerja pers. Karena tidak mengerti, maka mereka melakukan hal-hal lain, seperti menghalang-halangi, habis itu mengintimidasi, bahkan juga ada yang memukul fisik.

Kita juga sudah mulai mendata kekerasan secara seksual buat jurnalis, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi itu masih ada. Dan kita mencoba mengadvokasi semua kekerasan tersebut.

Terakhir ini di Ternate. Jurnalis dihalang-halangi saat meliput juga kalau tidak salah. Jadi itu baru kemarin kejadiannya.

Soal apa itu?

Mereka liputan dan ternyata dihalangi oleh petugas dan itu serius kayaknya. Karena Ketua AJI Ternate juga mengeluarkan statement-nya. Baru kemarin.

Terus ada juga kejadian sebelumnya itu yang Yasin Limpo, itu juga fenomenal. Karena jurnalis dikejar-kejar sama pengikutnya [Yasin Limpo]. Terus ada juga aksi di depan Kompas buntut dari kejadian yang Yasin Limpo itu. Ada segerombolan orang yang supporter-nya mantan Menteri Pertahanan itu yang ingin supaya kasusnya itu diselesaikan tanpa harus ke hukum gitu.

Jadi itu udah jadi suatu hal yang biasa, dalam artian bukan biasa dalam waktu normal. Tapi lebih pada itu terjadi memang saat ini. Dan kita tahu bahwa betapa rentannya kondisi keamanan jurnalis saat ini.

Kalau misalnya melihat dari tahun ke tahun, ada pola-pola tertentu nggak sih terkait kekerasan ini?

Kalau pola-pola tertentu sih nggak serba berubah, masih sama. Sebetulnya kan antara Dewan Pers, AJI, kan masuk ke konstituen Dewan Pers. Nah, Dewan Pers itu punya sekitar 11 konstituen termasuk AJI, itu sudah melakukan MOU dengan Polri ya, yang bilang bahwa segala kasus yang berhubungan dengan konten jurnalisme itu harus diselesaikan dengan Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999.

Kita sengaja untuk lakukan sosialisasi supaya semua orang melakukan itu. Jangan sampai kalau ada masalah dengan konten, malah ke polisi dengan Undang-Undang KUHAP, Undang-Undang ITE. Jadi kita berusaha supaya itu masuknya ke Undang-Undang Pers, harus diselesaikan dengan Dewan Pers sebagai orang yang akan menyelesaikan.

Tapi yang jadi masalah itu hanya sekadar konten. Belum ada perjanjian atau semacam kesepakatan atau semacam perlindungan untuk jurnalis khusus untuk kriminalisasi. Misalnya, kayak bagaimana kalau terjadi kekerasan terhadap jurnalis, itu belum ada. Jadi ini hal yang kayaknya lagi didukung, lagi didorong menuju ke Perkap peraturannya untuk kepolisian gitu loh. Tapi sampai sekarang belum juga, baru sekadar MOU. Itu juga yang membuat terjadi impunitas di mana-mana.

Kita melihat dari banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis, itu hanya segelintir yang berhasil dibawa ke meja hijau. Dari segelintir itu, cuma aktor-aktor yang eksekutornya. Bukan orang yang di belakangnya. Nah, itu juga jadi tantangan buat kita ke depan.

Sebenarnya MOU itu dari kapan? Kemarin disinggung mau ada MOU antara Dewan Pers dengan Kejagung. Sebenarnya itu dari kapan?

Itu diperbarui sih sebenarnya. Jadi yang saya tangkap ketika Bu Ninik sebagai Ketua Dewan Pers datang ke kepolisian. Cuma seperti yang saya bilang, MOU itu tidak kuat. Karena dibutuhkan itu sebenarnya Perkap, peraturan gitu. Peraturan lembaga untuk memproteksi keamanan jurnalis.

Nah, kalau buat AJI, kita melihat perlindungan terhadap jurnalis itu kecil banget. Sedikit banget dan bahkan tidak ada. Jadi kalau wartawannya udah melakukan tugas-tugas berat seperti jurnalis, jurnalis investigatif itu ya siap-siap aja kalau ternyata ada orang yang kebetulan gak happy dengan isi konten tersebut. Dan itu udah terbukti dari beberapa teman kami yang sempat masuk penjara.

Salah satunya kasus di Bau-Bau, udah lama. Jadi seorang wartawan dia menulis tentang korupsi, kemudian dia ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara. Dan kita dari AJI tahunya setelah proses sidangnya selesai.

Jadi kita harus memastikan, apa benar dia ternyata ditangkap? Ternyata benar. Dan kita nyampe sana ternyata prosesnya sudah selesai. Dia sudah masuk ke dalam sel. Dia sempat di sel tuh lumayan lama, lebih dari setahun lah dia di situ.

Nah, dari [kasus itu] kita berpikir, waduh ini konon pula teman-teman wartawan di kawasan terpencil ya, yang betul-betul melaksanakan tugas jurnalistiknya. Dan mungkin gak bisa menjangkau seperti misalnya di Jakarta gitu, itu kita gak tahu. Makanya itu jadi semacam tantangan juga sih buat teman-teman AJI terutama.

MOU sendiri sebenarnya itu work gak sih?

Komitmen sih. Masalah komitmen sekarang. Masalah komitmen intensi pemerintah untuk melindungi wartawannya. Lebih ke situ. Dan kalau udah ngomong komitmen, kita balik berpikir, apakah pengetahuan tentang pentingnya tugas jurnalistik itu memang sudah diketahui? Dan sehingga mereka penting untuk di-protect. Atau jangan-jangan wartawan sebenarnya yang dianggap merecoki dan gak usah di-protect.

Apalagi dengan banyaknya wartawan nakal, mungkin di sekililing kita ya. Kan udah jadi rahasia umum lah ada banyak orang yang mempergunakan profesi jurnalis, misalnya, untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji, itu kan juga ada.

Jadi kami lagi mencoba untuk terus mendorong supaya pemerintah pedulilah sama kami, dalam artian di-protect lah. Karena kita pilar keempat demokrasi. Kita yang melihat bagaimana, kita itu anjing penjaga. Harusnya kita dijaga dengan betul-betul dan baik. Bukan malah kalau terjadi apa-apa malah dibiarkan begitu saja. Dan itu sama sekali tidak layak dan tidak bijaksana, malah jahatlah itu bisa dibilang terhadap kita semua.