News - Perlawanan terhadap misinformasi vaksinasi semakin penting di Indonesia, mengingat banyak orang tua masih takut atau ragu memvaksin anak mereka. Meskipun vaksin telah terbukti aman dan efektif, mitos tentang efek samping dan kehalalan masih mempengaruhi keputusan banyak orang tua. Survei Tirto menunjukkan, 43,28 persen orang tua merasa khawatir memvaksinasi anak, dengan ketakutan terbesar terletak pada efek samping vaksin. Upaya edukasi yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi keraguan ini dan melindungi kesehatan anak-anak.

Vaksinasi di Indonesia belakangan menjadi isu kontroversial. Meski banyak orang tua antusias membawa anaknya imunisasi, ada pula yang enggan memvaksin anak mereka karena berbagai macam kekhawatiran.

Roy (bukan nama sebenarnya) adalah orang tua yang masuk dalam kelompok yang kedua. Pria berusia 42 tahun itu bercerita kepada Tirto, kalau ketiga anaknya sama sekali tak pernah divaksinasi.

Roy ragu akan status halal vaksin, mengingat ia pernah membaca referensi yang menyebut vaksin di Indonesia pada tahun 80-an tidak halal dan menggunakan perantara babi. Sejak saat itu, ia merasa, pemerintah telah membohongi ibunya, sehingga vaksin yang disuntik ke tubuhnya kala kecil diperantarai babi.

“Nah, setelah itu saya coba [cari referensi] dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari sisi halal dan haramnya. Akhirnya saya kasih kesimpulan bahwa ya sudah lah, enggak perlu, begitu saya punya anak ya,” ungkapnya kala dihubungi Tirto, Kamis (29/8/2024).

Roy berpendapat, pembentukan antibodi atau imunitas yang terjadi secara alami lebih baik ketimbang lewat perantara vaksin. Roy mencontohkan, orang-orang yang saat kecilnya serba higienis, lalu beranjak dewasa dan makan sembarangan, maka mereka jadi sering terjangkit diare. Berbeda jika dari kecil terbiasa makan apapun di pinggir jalan, maka akan lebih kebal dan jarang mengalami sakit atau diare.

“Jadi fungsi vaksin dan imunisasi itu untuk memudahkan membentuk kekebalan tubuh, berarti kan sebetulnya tanpa dibantu dari luar pun tubuh bisa membangun antibodi sendiri, gitu kalau kesimpulan saya sendiri,” kata Roy.

Keputusan ini dibuat Roy setelah ia membaca beberapa berita dan artikel, serta berdiskusi dengan beberapa temannya yang anti-vaksin. Roy bilang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun melabeli imunisasi sebagai hal yang “mubah”, dengan kata lain boleh dilakukan, tetapi tidak diwajibkan.

“Mubah katanya kan, oh mubah berarti boleh, boleh dipakai, boleh nggak kan. Tidak mewajibkan ya sudah, kalau buat saya abu-abu, saya tinggalkan. Itu dari sisi agama, cuman tadi perspektif saya, bahwa, biarkan anak membangun imunitasnya sendiri,” ungkap Roy.

Mitos dan fakta yang tersebar memang menimbulkan "perang" informasi antara mitos dan fakta terkait vaksinasi di kalangan orang tua. Terkait kandungan babi pada vaksin, perlu diketahui, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pernah menegaskan bahwa vaksin tidak mengandung babi. Pada pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio, memang ada penggunaan enzim tripsin babi. Namun, tidak semua vaksin membutuhkan enzim tripsin babi dalam proses pembuatannya.

Enzim tripsin babi diperlukan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman akan dibiakkan dan difermentasi, kemudian diambil polisakaridanya sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya, dilakukan proses purifikasi dan ultrafiltrasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Sehingga di hasil akhir proses, sama sekali tidak terdapat bahan-bahan vaksin yang mengandung enzim babi.

Pun, di laman mitos dan fakta soal vaksin, IDAI juga menyebut bahwa anggapan lebih baik kebal melalui penyakit daripada vaksin tidak tepat. Sebab, vaksin tidak dapat menyebabkan sakit atau membuat seseorang menderita komplikasi. Kebalikannya, dampak yang didapat dari infeksi alamiah, misalnya oleh Haemophilus influenzae tipe b (Hib) adalah retardasi mental, oleh rubela berupa cacat bawaan lahir, dan campak bisa menyebabkan kematian.

Namun, tak hanya Roy, Fika (31), yang memiliki satu anak berusia 5 tahun, juga mengaku tak ingin lagi memberikan vaksin lanjutan pada anaknya, meski imunisasi dasarnya telah lengkap. Selain khawatir akan efek samping vaksin, Fika merasa, setelah anaknya sempat mendapat vaksin influenza, anaknya justru kerap mengalami flu.

“Jadi kayaknya imunitas akan lebih penting ya daripada vaksinnya gitu. Yang penting kita makannya bergizi, terus dia juga dijaga kebersihannya. Itu kan sebenarnya menurut saya lebih penting daripada kita vaksin terus gitu,” ujar Fika kepada Tirto, Rabu (28/8/2024).

Fika mengaku, saat memvaksinasi anaknya, ia hanya ikut-ikutan dan tak terlalu tahu banyak soal vaksin. Fika bilang, kalau saja dulu ia tahu vaksin tak sebegitu berdampak terdapat kesehatan, ia mungkin akan memilih tak lakukan vaksinasi pada anaknya kala kecil.

"Cuman ya sudah lah, sudah terjadi,” katanya.

Cerita Roy dan Fika senada dengan temuan di Posyandu. Lala (bukan nama sebenarnya), yang bertugas memantau Posyandu di sebuah kelurahan di Bandung, juga bercerita masih ada beberapa orang yang enggan melakukan imunisasi, meski jumlahnya tak banyak.

Kata Lala (42), alasannya beragam, tapi kebanyakan merasa takut, anaknya sedang sakit, atau tak diperbolehkan oleh suami.

Hampir Separuh Responden Takut atau Ragu Vaksinkan Anak

Menurut laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), imunisasi sendiri merupakan upaya untuk meningkatkan kekebalan anak terhadap suatu penyakit. Dengan demikian, bila suatu waktu anak terpapar penyakit, maka ia tidak akan terserang atau hanya mengalami sakit ringan. Salah satu cara imunisasi aktif adalah dengan cara vaksinasi atau pemberian vaksin dengan cara disuntik atau diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.

Namun, seperti petikan wawancara di atas, masih banyak orang tua yang takut, ragu, atau bahkan enggan memberikan vaksin pada anak mereka, sebagian karena misinformasi terkait vaksin.

Salah satu mitos yang banyak beredar misalnya adalah dampak kesehatan, terutama jangka panjang, dari vaksin.

IDAI pernah membahas soal mitos ini. Padahal, menurut organisasi ini, kebanyakan reaksi vaksin bersifat minor dan sementara, seperti nyeri pada tempat penyuntikan atau lengan atau demam ringan. Masalah kesehatan serius atau berat sangat jarang terjadi dan diinvestigasi dan dimonitor secara ketat. Menurut mereka, orang-orang jauh lebih berisiko untuk sakit parah akibat terinfeksi penyakit-penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin daripada karena divaksin.

Namun, Tirto juga ingin menelusuri lebih lanjut apa saja ketakutan orang tua dalam memvaksin anak dan seberapa banyak orang tua yang takut memvaksin anak mereka.

Bekerjasama dengan penyedia layanan survei, Jakpat, Tirto mencoba menangkap tren imunisasi di kalangan orang tua berusia 19 - 40 tahun. Dari total 1.250 reseponden, 97 persen di antaranya orang tua yang menikah dan memiliki anak, sementara 3 persen sisanya janda atau duda yang memiliki anak.

Hasil dari survei menunjukkan, hampir separuh, atau sebanyak 43,28 persen responden takut dan ragu-ragu memvaksin anaknya. Vaksin yang dimaksud yakni imunisasi untuk anak usia 0 - 3 tahun.

Jika dibedah berdasarkan jenis kelamin, menariknya, proporsi orang tua laki-laki dalam kategori yang takut ataupun ragu lebih besar dibanding orang tua perempuan. Secara lebih spesifik, dari total 601 pria yang memiliki anak, ada setidaknya 50,25 persen yang bilang mereka ragu atau takut memvaksin anaknya ketika anak berusia 0 - 3 tahun.

Sementara di kalangan para ibu, hanya ada 36,83 persen dari total 649 responden perempuan, yang menyatakan takut atau ragu dalam memberikan vaksin kepada anaknya di usia 0 - 3 tahun. Hal ini senada dengan temuan lapangan pemantau Posyandu, Lala, soal adanya peran suami dalam absennya imunisasi anak.

Padahal, menurut Kemenkes, vaksinasi dasar harus diberikan pada bayi usia 0-11 bulan. Kemudian, untuk mempertahankan perlindungan terhadap penyakit, maka vaksinasi lanjutan harus diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun (baduta) dan anak usia sekolah dasar/sederajat.

Pada anak yang baru lahir misalnya, anak harus mendapat vaksin Hepatitis B atau HB-0 untuk mencegah penyakit Hepatitis B. Menginjak usia satu bulan, anak bisa diberi vaksin polio tetes (OPV 1) dan Bacillus Calmette Guerin (BCG). Tujuan penyuntikan vaksin BCG tersebut, yakni untuk mencegah penyakit TBC atau Tuberkulosis.

Dalam survei yang sama, Tirto juga mencoba mengelaborasi alasan di balik ketakutan atau keraguan orang tua memvaksin anak. Sebagian besar, atau sebanyak 50,65 persen responden, mengaku mereka takut akan efek samping vaksin yang akan dialami anaknya. Kemudian ,ada juga yang bilang bahwa mereka pernah mendengar berita negatif terkait vaksin (30,50 persen).

Sisanya, sebanyak 10,9 persen mengaku masih kurang informasi terkait vaksin. Beberapa faktor lain yang juga populer mencakup adanya pengaruh teman atau keluarga (3,70 pesen) dan pertimbangan keyakinan agama dan budaya (3,14 persen).

Kekhawatiran akan efek samping vaksin sebagai faktor utama orang tua takut atau ragu memvaksin anak juga terekam dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023. Laporan yang dikeluarkan Kemenkes itu mengungkap, sebanyak 45 persen orang tua mengaku tak melakukan imunisasi pada anaknya yang berusia 0 - 59 bulan lantaran khawatir akan efek sampingnya.

Alasan tersebut jadi jawaban paling populer kedua setelah faktor keluarga yang tak memberi izin, di mana persentasenya mencapai 47 persen. Beberapa jawaban yang juga umum di antaranya lupa/tidak tahu jadwal imunisasi (23,4 persen), anak sedang sakit (23 persen), atau adanya anggapan bahwa imunisasi tidak penting (22,8 persen).

Studi kerja sama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2020) dengan Kemenkes dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Kabupaten Bireuen, Aceh, dan Kota Padang, Sumatera Barat, pun menunjukkan bahwa masih ada orang tua yang menganggap imunisasi tidak penting bagi kesehatan anak, meski angkanya tak sampai 10 persen.

Kembali ke survei Tirto dan Jakpat, kami juga menanyakan perihal sumber informasi tentang vaksinasi. Hasilnya, mayoritas orang tua bilang mereka memperoleh informasi soal vaksin dari dokter atau tenaga kesehatan dan media sosial, termasuk Facebook, Instagram, dll.

Masalahnya, di media sosial, tak jarang berseliweran informasi miring soal vaksin. Selama Juli-Agustus tahun ini, Tirto sempat memeriksa beberapa klaim soal vaksin polio, menyusul pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) oleh Kemenkes.

Salah satu narasi di Facebook menyebut bahwa ada dokumen rahasia milik Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI) yang mengungkap vaksin Novel Oral Poliomyelitis Vaccine Type 2 (nOPV2), yang digunakan dalam PIN Polio, membahayakan kesehatan publik.

Padahal, BPOM memastikan vaksin polio telah memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu, serta diberikan persetujuan izin edar pada Desember 2023. Direktur Jenderal WHO juga telah menyetujui pelepasan lebih dari 20 juta dosis nOPV2 di Indonesia.