News - “Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa...” – Pramoedya Ananta Toer, petikan wawancara dengan Forum Keadilan, 26/3/2000.

Presiden Joko Widodo meminta maaf atas segala kesalahannya selama menjabat sebagai pemimpin Republik Indonesia. Ia mengaku tak mampu menyenangkan semua pihak, seraya melapisi permohonan maafnya dengan pengakuan akan kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia.

Tak jelas betul kepada siapa Jokowi melayangkan permohonan maafnya. Tak disebut juga kesalahan atau dosa yang mana dalam permohonan maaf sang presiden.

Kendati begitu, permohonan maaf Jokowi tentu dianggap oleh barisan pendukungnya sebagai sikap pemimpin yang patut ditiru. Dan rakyat mau tidak mau dituntut pengertian, bersikap dewasa, menelan maaf yang kosong esensinya.

Misalnya Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, yang menyeru masyarakat menerima permohonan maaf Jokowi. Ia meminta masyarakat mengubur kejengkelan dan ketersinggungan terhadap Jokowi selama ia menjabat sebagai presiden. Muzani menilai tidak ada kata terlambat melayangkan permohonan maaf, demi persatuan dan kebersamaan.

“Harus dilupakan, kita menyampaikan permohonan maaf dan kita memaafkan atas semua kejengkelan, mungkin kekeliruan, kedongkolan di antara kita semua,” kata dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/8/2024).

Lain Muzani, lain pula sikap Ketua Umum MUI, Anwar Iskandar. Merespons permintaan maaf Jokowi, Kamis (1/8/2024) di Jakarta, Anwar membalas dengan ucapan terima kasih kepada Jokowi sebab menurutnya pemerintah sudah membuat Indonesia tersenyum. Ia lantas memuji Jokowi sebagai sosok yang sabar dan telaten, terus memikirkan rakyat.

“Kalau saya boleh mewakili, panjenengan semua kita maafkan. Bahkan, kita mungkin lebih dari minta maaf karena telah bikin repot, kadang suuzan saja,” ujar Anwar.

Tak jelas betul, siapa “kita” yang dimaksud Anwar yang justru mohon maaf kembali kepada Jokowi. Sebab jika “kita” yang dimaksud adalah rakyat Indonesia, agaknya tak semudah itu menerima permintaan maaf, bahkan sampai harus memohon maaf segala kepada presiden.

Masyarakat bisa mengapresiasi kebesaran hati Jokowi yang mengulur maaf. Namun, maaf saja tak cukup membenahi sengkarut yang dilakukan rezim pemerintahan Jokowi selama ini. Terlebih, ketika permohonan maaf itu tampak kabur dan berbau formalitas belaka.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyatakan permohonan maaf Jokowi tidak jelas karena tak diiringi pengakuan atas kesalahannya. Isnur menilai rezim pemerintah Jokowi punya banyak kesalahan dalam kebijakan dan sikap politik, sehingga permohonan maaf dari presiden terasa kabur tanpa pengakuan dosa.

“Kan tidak jelas kesalahan yang mana. Sangat banyak peristiwa, sangat banyak kesalahan. Mahkamah Rakyat menerbitkan 9 dosa besar rezim Jokowi. Jadi kita kalau ingin melihat keikhlasan dan kebenaran dari permintaan maaf itu, harus jelas, harus clear,” kata Isnur kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).

Permintaan maaf dari seorang kepala negara hendaknya diiringi dengan pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Namun itu saja tidak cukup. Isnur menilai, permohonan maaf baru akan benar-benar terasa tulus jika ada upaya memperbaiki dosa yang sudah diakui sendiri.

“Apakah yang dikemukakan Mahkamah Rakyat artinya diakui sebagai kebenaran, bahwa itu diakui semua kesalahan? Lalu, jika itu sebuah permintaan maaf akan kesalahan, ya diperbaiki dong, dipulihkan kondisinya,” ucapnya.