News - Korupsi merupakan virus mematikan yang menggerogoti sendi negara demokrasi. Pemberantasan korupsi yang independen dan tidak tebang pilih, menjadi kunci agar infeksi virus korupsi tidak mengakar jauh. Di negeri ini, tugas mencegah dan menangani praktik lancung tersebut, salah satunya diemban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kendati demikian, kemandirian komisi antikorupsi untuk bertugas bebas intervensi tengah disoroti. Akhir-akhir ini dinamika di badan KPK membuat kepercayaan publik merosot. Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada rentang 18 – 24 Mei 2022 menorehkan, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK paling rendah di antara lembaga penegak hukum.

Survei lain menunjukkan kiprah penegakan tindak korupsi di KPK yang cenderung merosot. Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi 2022 yang diterbitkan ICW menunjukkan, pada 2019 KPK menangani 62 kasus dengan 155 tersangka. Angka itu turun pada 2020 menjadi 15 kasus dengan 75 tersangka.

Adapun pada 2021, KPK menangani 32 kasus dan menetapkan 115 tersangka. Sementara pada 2022, KPK menangani 36 kasus dengan 150 tersangka. Fluktuasi ini menunjukkan adanya tren pemberantasan korupsi yang belum konsisten dilakukan KPK.

Banyak aktivis antikorupsi menilai ada beberapa faktor yang menyertai tumpulnya taji komisi antirasuah. Revisi UU KPK salah faktor yang paling awal memicu goyangnya kinerja KPK. Diikuti dengan polemik tes wawasan kebangsaan (TWK), masuknya komisioner yang dianggap tidak mumpuni, ditambah pelanggaran kode etik oleh sejumlah petinggi KPK.

Teranyar, penetapan ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, sebagai tersangka kasus korupsi. Firli terjerat dugaan kasus pemerasan atau gratifikasi terkait perkara korupsi di Kementerian Pertanian. Dia juga tersandung dugaan kepemilikan rumah mewah di Kertanegara, Jakarta Selatan.

Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah alias Castro, menilai hal yang menggerogoti KPK saat ini merupakan masalah independensi. Penempatan KPK di bawah kekuasaan eksekutif, kata dia, membuat KPK rentan dipengaruhi dan diintervensi.

“Di belahan dunia manapun, lembaga independen seperti KPK itu berusaha dijauhkan dari cabang kekuasaan manapun, terlebih eksekutif. Di Indonesia, malah berusaha dikooptasi alias dicaplok masuk ke dalam rumpun eksekutif,” kata Castro dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/12/2023).

Hal ini imbas dari revisi UU KPK yang diketok pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Castro, hal ini memiliki motivasi yang jelas agar KPK mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak luar.

“Soal kewenangan, pascarevisi UU KPK membuat mahkota KPK diobok-obok. Mulai dari penyadapan, pengawasan, hingga SP3, ini yang membuat KPK makin tumpul dan birokratis,” ujar Castro.

Castro menambahkan, strategi KPK saat ini yang lebih fokus ke pencegahan dan meninggalkan penindakan, terbukti gagal menjaga kinerja. Tumpulnya KPK, kata dia, juga disebabkan strategi kuda troya di badan KPK.

“Ini menempatkan orang-orang yang integritasnya buruk seperti Firli,” tutur dia.