News - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, memastikan tidak ada tumpang tindih dalam menjalankan tugas antara lembaganya dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek).

Laksana menjelaskan kerja Kemendiktisaintek lebih pada urusan akademis, sementara BRIN fokus pada risetnya.

“Basis di Kemendiktisaintek itu akademis dan pedagogi, jadi pembinaan mahasiswa, periset, tetapi yang basisnya adalah akademis. Kalau kami basisnya dari aktivitas riset,” kata Laksana ditemui usai memberikan penghargaan Habibie Prize 2024, Jakarta, Senin (11/11/2024) dilansir dari Antara.

Laksana mengatakan Kemendiktisaintek akan fokus pada pengelolaan di kampus, sedangkan BRIN fokus menangani para ilmuwan atau peneliti yang fokus pada riset tanpa perlu menyelesaikan kewajiban pembelajaran seperti kuliah.

“Kemendiktisaintek ke depan itu fokus untuk pengelolaan di kampus, karena kampus kita itu ada banyak, sekitar empat ribu. Kalau di kami ada pemberian gelar melalui riset yang basisnya enggak perlu tanya IPK, tapi kita tanya passion (minat), dan dia (peneliti) harus murni melakukan riset, tidak ada coursework,” paparnya.

Ia menegaskan negara tetap harus mengakomodir kedua pilihan tersebut bagi masyarakat untuk ekosistem riset yang lebih sehat.

“Jadi kalau di BRIN bisa melakukan riset sepanjang waktu untuk mendapatkan S2-S3-nya. Kita harus selalu membuka opsi-opsi itu, karena tidak semua orang itu basisnya akademis, ada orang yang basisnya passion dan akademisnya mungkin jeblok, tetapi passion-nya bagus,” ucapnya.

Menurutnya, ekosistem riset hampir mirip dengan dunia kreatif, sehingga seluruh pemangku kepentingan harus terus berkolaborasi memberikan opsi-opsi kepada para periset.

“Karena ini kan dunia kreatif, jadi kita harus membuka semua opsi itu untuk generasi muda kita ke depan,” ujar dia.

Sebelumnya Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) RI, Stella Christie, mengimbau kepada seluruh periset, dosen, dan Sumber Daya Manusia (SDM) pendidikan tinggi di Indonesia untuk memperluas jejaring risetnya.

"Dalam proses meningkatkan kemampuan kita sebagai peneliti, salah satu yang paling menjadi kunci adalah networking (jaringan)," kata Stella.

Ia mengungkapkan pentingnya membangun jejaring tidak hanya diperlukan dalam sebuah bisnis, namun juga dalam bidang riset dan pendidikan tinggi, khususnya terhadap sesama ilmuwan.

"Untuk bisa mendapatkan tempat, atau posisi PhD atau S3 yang bergengsi di universitas unggulan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia lainnya, kita perlu networking yang kuat," tuturnya.