News - Pola asuh punya pengaruh besar terhadap perkembangan karakter anak, terutama di bawah usia dua tahun.

Hal ini dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan anak terjadi demikian pesat di momen-momen tersebut.

Pada usia dua tahun, otak anak sudah berkembang sebanyak 80 persen dari struktur otak manusia.

Laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menuliskan bahwa, masa-masa itu merupakan periode kritis perkembangan.

Kesalahan pengasuhan dapat menyebabkan penyimpangan mental emosional anak, serta berpengaruh pada perkembangan karakternya. Namun, bukan berarti perkembangan karakter berhenti di masa-masa emas (golden age) anak saja.

Menurut perspektif perkembangan psikososial yang dikembangkan psikolog Erik Erikson, tahapan perkembangan anak bergerak dinamis sepanjang masa hidup manusia. Karakter yang dimaksud di sini adalah kepatutan tingkah laku dan kepribadian anak.

Dalam sebuah studi berjudul "Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Karakter Anak Usia Dini" yang ditulis Irma Khoirsyah Riati di Jurnal Infantia memaparkan bahwa, arti karakter terbagi menjadi dua.

Pertama, perilaku atau tindakan yang dijalani oleh anak, baik itu yang dipandang patut atau tidak layak di lingkungannya.

Kedua, karakter bermakna kepribadian yang dimiliki anak, yang ia tampakkan di kesehariannya.

Karena pentingnya mendidik anak agar mempunyai karakter mulia dan berkeperibadian sehat, jenis-jenis pola asuh untuk membesarkan anak menjadi penting untuk diketahui orang tua.

Bagaimanapun juga, interaksi orang tua dan anak memiliki konsekuensi panjang di sepanjang masa hidupnya.

Dilansir dari Psychology Today, terdapat empat jenis pola asuh dan dampaknya bagi karakter anak yang mesti dikenali orang tua sebagai berikut.

1. Pola Asuh Otoriter

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter biasanya mengharuskan anaknya untuk terus patuh dan tidak membantah orang tua.

Ayah atau ibu menjadi sosok yang dominan dan memiliki kontrol penuh terhadap anak-anaknya.

Jika anak-anak membangkang dan menyalahi perintah orang tua, biasanya hukuman lantas diberikan kepada mereka.

Jika anak membantah dan tidak terima atas hukuman itu, dalih orang tua adalah demi kebaikan anak sendiri.

Studi menunjukkan bahwa sebagian anak-anak atau remaja yang tumbuh dari orang tua otoriter, biasanya jadi kurang bisa mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi kritisnya.

Padahal, dua hal ini sangat penting untuk menumbuhkan sifat dan karakter kepemimpinan (leadership) bagi si anak.

Selain itu, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua otoriter, di masa akan datang cenderung juga menjadi otoriter.

Ia menjadi tidak suka dibantah, tidak suka dikritik, dan perintahnya mesti dituruti, baik dalam hubungannya dengan orang lain ataupun nantinya jika ia menikah, berkeluarga, dan menjadi orang tua bagi anak-anaknya nanti.

2. Pola Asuh Pengabaian

Anak-anak yang tubuh dari pola asuh pengabaian biasanya kurang mendapatkan kasih sayang orang tua.

Ayah dan ibunya kurang menghabiskan waktu berkualitas dengan anak-anaknya, baik karena lalai atau kesibukan kerja masing-masing orang tua.

Sering kali, anak-anak dibiarkan menghasikan waktu untuk menonton televisi dan bermain gawai atau gim sepanjang harinya.

Akibatnya, anak-anak dari orang tua ini karap mengalami kesulitan mengikuti aturan. Mereka dibebaskan semaunya.

Padahal, ada beberapa aturan sosial yang harus diikuti, dan mereka tidak terbiasa patuh pada aturan di rumah. Selain itu, keterampilan mereka untuk menjadi tertib tidak berkembang baik.

Anak-anak dari pola asuh pengabaian juga berpotensi mengembangkan masalah perilaku karena kurangnya kontrol diri. Keterampilan komunikasi mungkin juga tidak berkembang sepenuhnya.

3. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif ini ditandai dengan sikap orang tua yang penuh perhatian, memberikan banyak interaksi dan kehangatan. Anak-anak dibebaskan dan tidak banyak diatur, kebalikan dari pola asuh otoriter di atas.

Pola asuh ini bisa dibilang pola asuh yang memanjakan anak. Selain itu, orang tua lebih mirip sebagai teman daripada orang tua pada lazimnya.

Pengaruhnya, gaya pengasuhan ini sering kali menjadikan anak mengembangkan tingkat kreativitas yang lebih tinggi pada anak-anak umumnya.

Namun, efek negatifnya, ia memiliki kontrol diri yang kurang, sedikit batasan, dan kurang memiliki perasaan berhak atas kepemilikannya, baik secara pribadi atau secara sosial.

Biasanya anak dengan pola asuh permisif ini dapat mengembangkan hubungan sosial yang baik dengan sebayanya, namun ia sering kali lebih suka menerima daripada memberi.

4. Pola Asuh Otoritatif

Jangan sampai terbolak-balik antara pola asuh otoriter yang serba mendahulukan kepatuhan dari pola asuh otoritatif, yang dipandang ideal oleh para ahli perkembangan anak.

Pola asuh otoritatif ini ditandai dengan sikap orang tua yang mendorong anak agar menjadi mandiri, namun di saat bersamaan juga menerapkan batasan-batasan sesuai standar kelayakan di lingkungannya.

Orang tua otoritatif biasanya menerapkan aturan disiplin, namun juga diterapkan secara suportif. Jika anak membantah, orang tua tidak langsung menghukum, namun mendahulukan dialog terlebih dahulu.

Jika diimplementasikan dengan baik, tingkat kemandirian anak akan terus meningkat saat mereka tumbuh dewasa.

Hasilnya, anak kemudian mengembangkan potensi kepemimpinan yang lebih tinggi dari anak-anak sebayanya.

Mereka juga biasanya memiliki keterampilan sosial dan kontrol diri yang sesuai dengan tahapan perkembangannya.