News - Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, punya memori kolektif yang kuat perihal tahun 1997.

Kala itu, rencana pembangunan turbin listrik menyebabkan berlangsungnya kerja bakti paling besar dalam sejarah masyarakat Ciptagelar. Ribuan orang berjalan kaki dari Cicadas ke Cipulus, menempuh jarak sejauh 17 kilometer.

“Para perempuan mengangkut semen, sedangkan laki-lakinya membawa gulungan kabel dan material pembuatan turbin lainnya. Panjang iring-iringan mencapai dua kilometer,” tulis Muhammad Fasha dalam skripsi di Universitas Pendidikan Indonesia, Model Komunikasi Masyarakat Adat dalam Resolusi Konflik: Studi Etnografi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.

PLTMH Ciptagelar

Suasana kerja bakti perbaikan turbin PLTMH di Ciptagelar, circa 2017. Foto/Dok. Muhammad Fasha Rouf

Pada 1988, Abah Anom alias Encup Sucipta, pemimpin masyarakat adat Ciptagelar, sebelumnya sudah berusaha menerangi wilayahnya dengan teknologi ala kadarnya.

Memanfaatkan aliran deras yang bersumber dari Gunung Halimun, ia membangun sebuah kincir air. Kincir tersebut dilengkapi bilah-bilah kayu rasamala yang difungsikan sebagai pipa. Di malam hari, upaya itu berhasil menerangi 55 rumah.

Keinginan Abah Anom membuat kampung halamannya terang benderang 1x24 jam membuahkan hasil sembilan tahun kemudian. Lewat Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), bantuan datang dari Pemerintah Jepang.

Pendiri IBEKA Iskandar Budisaroso Kuntoadji ingat betul suasana pada hari bersejarah di Ciptagelar itu.

“Sejak pukul dua dini hari, warga sudah berkumpul di Cipulus, kemudian turun ke Cicadas. Berbilah-bilah bambu disiapkan sebagai tandu buat mengangkut generator. Tiap ujung tandu dipegang oleh enam orang,” ungkap Iskandar kepada Tirto, Selasa (16/4).