News - Adakah penyair Indonesia yang lebih ikonis dan lebih inspiratif ketimbang Chairil Anwar?

Achdiat Kartamihardja meminjam watak dan pribadi Si Binatang Jalang untuk menghidupkan Anwar, salah seorang tokoh dalam roman Atheis (1949). Arief Budiman menulis skripsi yang kemudian dibukukan, Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (1976). Sjuman Djaya mengangkat kisah hidup anak Medan ini ke dalam skenario Aku (1987). Hasan Aspahani merilis Chairil: Sebuah Biografi (2016). Lewat Titimangsa Foundation, Happy Salma mementaskan lakon Perempuan-perempuan Chairil (2017). Exan Zen, penulis film—demikian keterangan di mesin pencari—memproduksi Binatang Jalang (2020), sebuah film-puisi.

Awal tahun ini, berita soal pemutaran film-puisi Binatang Jalang menjadi pembicaraan orang banyak di media sosial. Penyebabnya, sang sutradara menyelipkan potongan sajak berjudul Cinta dan Benci ke dalam dialog, sedangkan ia mendaku bahwa seluruh dialog dalam film tersebut diambil dari sajak-sajak Chairil. Padahal, jejak digital menunjukkan: Cinta dan Benci ditulis Ari Ridho di blog pribadinya 65 tahun setelah Chairil wafat.

"Di sini, saya tidak bermaksud mempersembahkan karya Chairil Anwar si penyair terkenal tersebut. Karena, itu melanggar hak cipta. Jadi, saya membuat sendiri puisi cinta ini. Meskipun demikian, kumpulan puisi cinta karya saya ini terinspirasi dari puisi-puisi Chairil Anwar. Selamat menikmati. Maaf, bagi yang merasa tertipu," tulis Ari Ridho (11/7/2014).

Omong-omong soal "kasus tipu-menipu" macam begitu, Ari Ridho tidak sendiri. Beberapa bulan setelah Chairil wafat, kabar gembira datang: majalah Indonesia bakal menerbitkan sajak-sajak Chairil yang belum pernah disiarkan.

Sumber otentik sajak-sajak itu adalah sebuah map yang selalu dikepit Chairil menjelang kematiannya. Ya, ketika meninggal pada 28 April 1949, tepat hari ini 72 tahun lalu, Chairil meninggalkan 1 ons gula merah, sepasang sepatu dan kaus kaki hitam, selembar uang rupiah, dan satu map berisi bundel-bundel kertas tulisan tangan berisikan sajak-sajak.

Semua warisan itu, sebagaimana ditulis Nasjah Djamin dalam Hari-hari Akhir Si Penyair (2013), sedianya akan diberikan Sam Soeharto kepada Hapsah, istri Chairil. Lantaran perempuan asal Karawang itu tak kunjung datang, Soeharto pun menyerahkan isi map kepada Trisno Sumardjo, redaktur majalah Indonesia.