News - Pada 1948, bekerja sama dengan Muzak--perusahaan yang menyajikan musik bagi restoran dan hotel--Pemerintah Distrik Columbia, Amerika Serikat, memulai program memperdengarkan musik secara pelan di pelbagai bus yang menjadi moda transportasi masyarakat. Juga sesekali info komersial serta pengumuman.

Meski sempat dikecam, 92 persen pengguna bus tak keberatan dengan program ini. Maka itu, pemerintah pun melanjutkan programnya.

Namun, bagi dua pengguna bus bernama Franklin Pollak dan Guy Martin, program tersebut merampas kebebasan. Pemerintah dianggap telah merampak hak untuk memperoleh ketenangan seperti yang diamanatkan konstitusi. Keduanya kemudian mengajukan gugatan hukum.

Mereka melenggang hingga Mahkamah Agung. Namun dua penumpang bus ini akhirnya kalah. Meski demikian, keputusan Mahkamah Agung tersebut tidak bulat. Terdapat satu dari delapan hakim yang memutuskan perkara yang tak sependapat atau dissenting opinion.

Felix Frankfurter, hakim itu, percaya bahwa Pollak dan Martin--juga penumpang lainnya yang merasa terganggu dengan suara musik--merupakan korban kesewenang-wenangan pemerintah.

Menurutnya, "kebebasan" berdiri dengan tiang penyangga bernama "hak untuk dibiarkan sendiri" alias privasi. Maka, memaksa tiap pengguna bus untuk mendengarkan musik dan info komersial adalah bentuk pelanggaran kebebasan, pelanggaran privasi.

Hak untuk dibiarkan sendiri atau the right to be let alone berasal dari pemikiran Samuel Warren dan Louis Brandeis dalam studi berjudul "The Right to Privacy" (Harvard Law Review, 1890). Kiwari, zaman modern yang diwakili oleh kemunculan komputer dan ponsel pintar, hak itu kian sering dilanggar.

Tak hanya untuk "memengaruhi pikiran manusia" seperti diungkapkan Frankfurter, tetapi juga untuk mendulang pundi-pundi. Pelanggaran ini pertama-tama dilakukan dengan penguasaan data pengguna, lalu ditranslasikan sebagai iklan personal.