News - Mahkamah Konstitusi (MK) melahirkan putusan penting di awal 2025 karena mencoret ketentuan presidential threshold 20 persen bagi pencalonan presiden dan wakil presiden. Kamis (2/1/2025), putusan ini dibacakan MK pada perkara 62/PUU-XXII/2024. Permohonan perkara dilayangkan sejumlah mahasiswa yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.
Sikap MK yang mengabulkan seluruhnya gugatan pemohon yang menguji norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kali ini bisa disebut sebagai pemecah kebuntuan. Sebab dalam perkara-perkara sebelumnya yang menguji presidential threshold 20 persen, MK selalu konsisten menolak atau tidak menerima. Bahkan, dalam tiga perkara senada yang dilayangkan tiga pemohon lain dalam waktu yang bersamaan dengan perkara Nomor 62/2024, MK juga menolak ketiganya.
Sejak 2014 hingga awal 2025, MK sudah menolak 35 perkara berkaitan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen. Sebelum UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu dilahirkan, pemohon menyasar Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur aturan yang sama soal ambang batas 20 persen bagi calon presiden dan wakil presiden.
Sejumlah partai politik (parpol) dan pengamat hukum konstitusi menilai putusan MK sebagai sebuah angin segar. Dalam amar putusan, MK menegaskan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan perkara nomor 62/2024 ini, MK memberikan lima pedoman rekayasa konstitusional yang bisa dijalankan pembentuk UU – Pemerintah dan DPR RI – dalam menyusun revisi UU Pemilu.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menyatakan DPR dan Pemerintah wajib mengakomodir putusan MK saat agenda revisi UU Pemilu. Hal yang harus diperhatikan pembentuk UU atas putusan MK adalah poin bahwa semua parpol peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dan bisa dilakukan tanpa terikat persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah nasional.
“Pengusulan pasangan calon dapat dilakukan secara gabungan antarpartai politik, sepanjang tidak menimbulkan dominasi partai tertentu,” kata Annisa kepada wartawan Tirto, Jumat (3/1/2025).
Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu berikutnya. Selain itu, agenda revisi UU Pemilu wajib melibatkan partisipasi seluruh pihak yang memiliki perhatian penyelenggaraan pemilu. Termasuk partai-partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR.
Annisa menilai, putusan MK terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini memang sangat menguntungkan partai gurem atau partai yang tidak memiliki kursi di DPR. Mereka nantinya dapat mengusulkan capres-cawapres pada Pemilu 2029. Imbasnya, akan ada potensi banyak capres dan cawapres dalam pesta demokrasi berikutnya.
Berkaca pada efek dari Putusan MK Nomor 60/2024 yang telah mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi lebih rendah, dominasi koalisi parpol masih juga terjadi. Annisa melihat, pada realitanya cakada di daerah justru menunjukkan dominasi koalisi besar meskipun ambang batas pencalonan sudah diturunkan. Fenomena tersebut dapat menjadi pembelajaran untuk mengatur lebih lanjut terkait MK 62/2024 untuk kemudian menentukan ambang batas maksimal pencalonan.
“Perlu diatur lebih lanjut adalah terkait ambang batas maksimum pencalonan agar tidak didominasi oleh salah satu partai politik,” kata Annisa.
Pakar hukum kepemiluan dan pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengingatkan untuk belajar dari aksi "Peringatan Darurat" RUU Pilkada pada Agustus 2024. Momen tersebut semestinya menjadi pembelajaran bagi seluruh pihak agar jangan ada upaya untuk mendistorsi atau menyimpangi Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024.
Apalagi, kata Titi, pihak yang mencoba membuat tafsir untuk membengkokkan perintah atau judicial orders dari putusan MK. Rakyat sangat sensitif pada pembonsaian hak-hak mereka, seperti yang sempat dilakukan DPR saat berupaya menggagalkan keberlakuan Putusan MK Nomor 60/2024 dan Putusan MK Nomor 70/2024 terkait Pilkada 2024.
“Pilihan yang paling bijak dan tepat bagi pembentuk UU adalah melaksanakan Putusan MK dengan konsisten, utuh, dan sebaik-baiknya. Apalagi momentum itu sudah tersedia melalui revisi UU Pemilu yang masuk dalam Prolegnas Tahun 2025,” ucap Titi kepada reporter Tirto, Jumat (3/1/2025).
Titi menyarankan, pembentuk UU dapat mengatur lebih lanjut putusan MK yang berkaitan soal ketentuan dominasi koalisi parpol dalam pencalonan capres-cawapres. Sesuai putusan MK, parpol atau gabungan parpol tidak boleh menimbulkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Menurut Titi, sejatinya melalui pernyataan itu, MK menghendaki agar tidak ada aksi borong parpol demi kepentingan dominasi pencalonan capres-cawapres. Sebab semangat putusan MK adalah keragaman pilihan bagi pemilih. Karena itu, pembentuk UU harus merumuskan formula agar keragaman pilihan dapat diwujudkan.
Pembentuk UU juga harus mengatur agar peserta pemilu tidak asal-asalan mengusulkan calon. Parpol harus memastikan bahwa calon yang diusung lahir dari proses rekrutmen yang demokratis. Misalnya, kata Titi, calon diputuskan melalui pemilihan atau keputusan internal partai yang inklusif. Bukan sebatas karena punya popularitas, isi tas, dan selera elite.
“Jangan sampai ada tafsir yang memutarbalikkan hukum bahwa putusan ini bisa ditunda keberlakuannya sepanjang diatur oleh pembentuk undang-undang. Semua pihak harus taat dan konsisten dalam berkonstitusi,” terang Titi.
Terkini Lainnya
Jangan Sampai Diakali Pembentuk UU
Artikel Terkait
Yusril Harap MK Bisa Segera Hapus Ambang Batas Parlemen
MK Hapus Ambang Batas, Partai Buruh: Tak Perlu Revisi UU Pemilu
Titi Anggraini: Penghapusan PT 20% Baru Awal dari Perjuangan
MK Hapus Presidential Threshold, Menteri Karding: Bikin Rumit
Populer
Ketua DPD Saran Gunakan Dana Zakat untuk Biayai Program MBG
Edy Rahmayadi Minta MK Batalkan Kemenangan Bobby-Surya
Untung Rugi RI Beli Minyak Rusia usai Resmi Jadi Anggota BRICS
Era Bakar Uang Meredup, Startup Unicorn Berjuang Agar Tak Lenyap
Fenomena Demam Koin Jagat: Antara Hiburan & Kebutuhan Finansial
Apa Faktor Utama Penyebab Kebakaran di Los Angeles?
Daya Beli Tertekan, Harga Pangan Kian Menggila
Kemendikti Berpeluang Terapkan Skema Ini soal Tukin Dosen
Flash News
Kejagung Tahan Eks Ketua PN Surabaya di Kasus Ronald Tannur
PPPA Dorong Pembatasan Penggunaan Medsos & Gadget untuk Anak
KPK Tahan 1 Tersangka Kasus Korupsi Investasi PT Taspen
Khofifah Dorong Prabowo Terapkan MBG di Sekolah TK Islam
KKP Diminta Tindak Tegas Pembuat Pagar Laut 30 Km di Tangerang
KPK Bantah Hasto Tak Ditahan karena Megawati Telepon Prabowo
PBNU Ungkap Syarat Ketat jika Dana Zakat Biayai Program MBG
Khofifah Undang Prabowo Hadiri Kongres Muslimat NU di Surabaya
Andika Cabut Gugatan Pilkada, Ahmad Luthfi Tunggu Penetapan MK
Wali Kota Jaktim Telusuri Identitas Anak Main Skuter di Jalan
Respons Pigai soal Perusahaan yang Belum Pekerjakan Difabel
Dapur Umum MBG di Bantul Ditargetkan Berjalan Akhir Januari 2025
Kejagung Siap Lindungi Bambang Hero usai Dilaporkan ke Polisi
BPBD Jakarta Minta Publik Buat Turap Mandiri Antisipasi Longsor
Pratikno Akui Penyaluran Makan Bergizi Gratis Belum Merata