News - Bukan tanpa alasan irah-irah alias kepala putusan di setiap pengadilan diawali kalimat: Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa posisi hakim adalah wakil Tuhan yang bertanggung jawab langsung pertama-tama kepada Tuhan. Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, menyebut kalimat di kepala putusan itu sebagai sesuatu yang luhur dan sakral.

Kendati demikian, Tuhan semakin tak diingat di ruang pengadilan. Mafia peradilan berupa makelar perkara yang dengan lancung memperjualbelikan hasil putusan, masih tumbuh subur. Di tubuh Mahkamah Agung (MA) bahkan berkali-kali terungkap dan menyeret hakim agung serta jajaran pegawai MA.

Wajah lembaga peradilan makin buruk rupa sebab hakim justru bermain di pusaran korupsi. Hakim, sebagaimana tulis Bismar Siregar dalam buku Surat-Surat kepada Pemimpin (2008), cuma jadi singkatan dari kalimat: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang.

Sejumlah pengamat hukum sepakat saat ini menjadi momen yang tepat untuk bersih-bersih dan mereformasi MA. Pasalnya, tengah berjalan pengusutan dugaan korupsi yang menyeret bekas pegawai MA, Zarof Ricar. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut Zarof terlibat dalam dugaan pemufakatan suap dan gratifikasi dalam kasus Gregorius Ronald Tannur.

Penyidik Kejagung menemukan uang tunai Rp920 miliar beserta emas dengan berat total 51 kilogram di kediaman Zarof. Kejagung menyebut Zarof adalah perantara dari tersangka lain, Lisa Rachmat, yang bakal menyuap hakim agung tingkat kasasi agar membebaskan Ronald Tannur.

Lisa yang merupakan pengacara Ronald, mengupah Rp1 miliar untuk Zarof dan Rp4 miliar untuk para hakim agung yang menangani kasasi Ronald. Zarof belum memberikan duit suap itu kepada hakim agung. Belakangan, putusan kasasi Mahkamah Agung menetapkan Ronald Tannur bersalah karena membunuh Dini Sera Afrianti dan divonis 5 tahun penjara.

Sulit untuk tidak menduga bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung sudah terjadi secara sistemik. Pasalnya, sebagaimana pengakuan Zarof, harta dengan total sedikitnya Rp1 triliun yang ditemukan Kejagung di rumahnya berasal dari pengurusan perkara sejak 2012-2022. Bisa jadi, selama 10 tahun itu pula Zarof mengutak-atik putusan yang dikeluarkan MA.

Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan MA terkesan lepas tangan atas kelakuan Zarof yang jelas-jelas sudah beraksi sejak jadi pegawai MA. Dia menilai, sudah seharusnya pimpinan MA saat Zarof bekerja di MA, ikut ditelusuri karena bisa saja membiarkan Zarof menjadi makelar kasus.

Abdul sangat yakin Zarof memiliki koneksi dengan para hakim agung di MA. Maka, kata dia, momen penangkapan Zarof sudah seharusnya menjadi agenda bersih-bersih tubuh MA dari para mafia peradilan.

“ZR dengan sangat mudah berhubungan dengan para hakim yang menangani perkara, kita berharap ZR akan bernyanyi untuk membersihkan MA,” kata Abdul kepada Tirto, Kamis (31/10/2024).

Berdasarkan pengakuan Zarof yang sudah beraksi sejak 2012, Abdul menduga sangat ada potensi beberapa hakim agung yang menjadi “klien” Zarof. Apalagi dalam kasus saat ini di mana Zarof berniat menyuap hakim kasasi MA di perkara Ronald Tannur, sudah ada uang yang disiapkan untuk melancarkan aksi jahat pengaturan putusan.

Abdul memandang kasus Zarof dapat jadi pintu masuk untuk membongkar kebobrokan MA, sekaligus membersihkannya. Kasus ini menjadi indikasi bahwa Badan Pengawas (Bawas) MA dan Komisi Yudisial (KY) tidak bekerja serius menjalankan fungsinya sebagai pengawas.

“Mafia peradilan masih subur sampai kini, buktinya beberapa hakim agung sudah [kena] OTT, ini bukti bahwa kerja pengawasan Bawas dan KY hanya sia-sia dan menghabiskan anggaran negara,” ujar Abdul.