News - Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (JAM Pidsus Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, sebagai tersangka pada kasus importasi gula.

Kasus yang menyeret ex Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) di Pilpres 2024 itu terjadi pada periode 2015-2016 saat ia masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan.

Tom Lembong diduga menyalahi prosedur dalam pemberian izin impor gula pada 2015. Padahal berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian pada 12 Mei 2015, telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus atau kelebihan stok gula, sehingga tidak perlu dilakukan impor gula. Namun, Tom Lembong saat itu tetap menyetujui surat keputusan untuk dilakukan impor.

“Menteri Perdagangan, yaitu saudara TTL memberikan izin persetujuan impor Gula Kristal Mentah (GKM) sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP yang kemudian GKM itu diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP),” ungkap Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Selasa (29/10/2024) malam.

Izin impor yang dikeluarkan Tom Lembong diberikan kepada delapan perusahaan swasta, yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Sementara secara aturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, pihak yang diizinkan melakukan impor GKP hanya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Dan impor GKM tersebut tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri,” jelas dia.

Setelah izin impor diberikan, kemudian dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian yang dihadiri oleh kementerian di bawah Kemenko Perekonomian pada 28 Desember 2015. Salah satu pembahasannya pada 2016, Indonesia justru kekurangan GKP sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Untuk stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, tersangka CS (Charles Sitorus) selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang diberikan izin impor tersebut. Pertemuan itu membahas rencana kerja sama impor GKM menjadi GKP antara PT PPI dan delapan perusahaan gula swasta.

Lalu pada Januari 2016, Tom Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Ini dilakukan melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300.000 ton.

Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM. Meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI).

“Atas sepengetahuan dan persetujuan Tersangka TTL, Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Dan seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung,” Abdul Qohar.

Setelah kedelapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut. Padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp16.000/kg. Angka ini lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000/kg, dan tidak dilakukan melalui operasi pasar.

“Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp105/kg,” jelas dia.

Atas kejadian tersebut, kerugian negara yang timbul akibat penyalahan prosedur ini senilai ±Rp400 miliar. Uang tersebut menjadi nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara dalam hal ini BUMN (PT PPI).

Dalam kasus ini, Tom Lembong dan CS dijerat Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.