News - Infeksi COVID-19 kembali menjadi sorotan dua pekan terakhir sebab adanya kabar lonjakan kasus konfirmasi di Singapura. Negara tetangga yang hanya perlu perjalanan satu jam dari kota Batam itu, melaporkan adanya ribuan kasus baru pada pertengahan bulan Mei lalu. Kementerian Kesehatan Singapura melaporkan, ada belasan ribu kasus baru pada periode 5-11 Mei 2024 dengan total temuan 25.900 kasus positif COVID-19.

Biang keladi peningkatan ini terjadi karena penyebaran COVID-19 varian KP.1 dan KP.2 yang tengah bersirkulasi di Singapura. Keduanya merupakan mutasi subvarian COVID-19 Omicron JN.1 yang turut memantik peningkatan kasus di beberapa negara. Dilansir Channel News Asia, Kementerian Kesehatan Singapura menyatakan varian KP.1 dan KP.2 pada Mei 2024, mendominasi dua per tiga kasus COVID-19 di sana.

Ilmuwan menjuluki KP.1 dan KP.2 dengan sebutan FLiRT. Awal Mei, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan KP.2 sebagai varian dalam pantauan. Varian tersebut juga dominan ditemukan di Amerika Serikat dan telah terdeteksi di beberapa negara seperti Cina, Thailand, India, Australia, dan Inggris.

Kabar lonjakan kasus COVID-19 di Singapura tak ayal cukup membuat ramai pemberitaan di dalam negeri. Terlebih, virus ini terus bermutasi dan dikhawatirkan memantik gelombang kasus baru meskipun sudah berstatus endemi. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) turut merespons dengan cepat potensi ancaman peningkatan kasus COVID-19 di dalam negeri.

Juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, menyatakan belum ada temuan varian KP.1 dan KP.2 pada Mei 2024. Selain itu, belum ada indikasi bahwa varian KP.1 dan KP.2 lebih mudah menular atau menyebabkan keparahan dibandingkan varian COVID-19 lain.

Berdasarkan data Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) pertengahan Mei lalu, varian COVID-19 yang bersirkulasi di kawasan ASEAN pada 2023-2024 didominasi oleh JN.1. Sementara itu, varian KP yang terdeteksi di ASEAN tidak hanya bersirkulasi di negara Singapura saja, melainkan juga meliputi Malaysia, Thailand dan Kamboja.

“Sampai Mei 2024, kasus COVID-19 yang beredar di Indonesia didominasi oleh subvarian Omicron JN.1.1, JN.1, dan JN.1.39. Kalau subvarian KP, belum ditemukan,” kata Syahril dalam keterangannya, diterima Jumat (31/5/2024).

Kendati demikian, data di laman Kemenkes memang menunjukkan adanya peningkatan kasus COVID-19 yang tercatat di akhir Mei 2024. Pada periode 19-25 Mei terjadi peningkatan konfirmasi kasus sebanyak 37 persen dibanding pekan sebelumnya. Sementara perawatan di ICU akibat COVID-19 juga mengalami peningkatan 18 persen. Sejak Januari 2024, total kasus konfirmasi COVID-19 tercatat ada 7.564 kasus hingga 25 Mei 2024.

Vaksinasi COVID-19 petugas komunitas Bandara Bali

Vaksinator menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada petugas saat vaksinasi untuk petugas komunitas Bandara I Gusti Ngurah Rai di Badung, Bali, Jumat (29/12/2023). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.

Epidemiolog dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Masdalina Pane, menyatakan COVID-19 bukan merupakan penyakit yang perlu dikhawatirkan lagi, namun masyarakat tetap perlu waspada. Kewaspadaan ini dikarenakan mutasi dari virus ini yang dapat terus terjadi.

“Tidak perlu khawatir berlebihan karena penyakit ini sudah ada vaksinnya dan imunitas kelompok (herd immunity) sudah terbentuk. Sama seperti influenza walaupun obat keduanya belum ditemukan, tetapi vaksin dan metode pencegahannya sudah diketahui,” kata Masdalina kepada reporter Tirto, Minggu (2/6/2024).

Terkait mutasi virus COVID-19 yang terjadi, pemerintah perlu mewanti-wanti kemungkinan peningkatan virulensi (keganasan) dan severity (keparahan). Sejauh ini, kata Masdalina, laporan dari Singapura dan beberapa negara lain memang terjadi peningkatan jumlah kasus, namun tidak menyebabkan lonjakan kapasitas pelayanan ICU.

Surge capacity pada layanan ICU merupakan salah satu sinyal utama dalam respons terhadap mutasi virus COVID-19. Walaupun demikian, tentu deteksi dini terhadap mutasi virus harus tetap dilakukan,” ujar Masdalina.

Menurut dia, belum ditemukannya varian KP.1 dan KP.2 justru menunjukkan sistem deteksi dini di Indonesia belum bekerja efektif. Pengalaman yang ada, Indonesia selalu terlambat menyadari adanya infeksi penyakit yang masuk, seperti kasus mpox dan varian COVID-19 sebelumnya.

“Ini menjadi PR besar kita para epidemiolog, mengapa deteksi dini penting? Karena semakin cepat kasus ditemukan, semakin cepat containment dilakukan sehingga penyebaran penyakit dapat dilokalisir,” jelasnya.

Komunikasi risiko merupakan teknik yang penting dilakukan, dan bukan hanya komunikasi publik yang mengarah pada pencitraan semata. Tindakan represif dan euforia dalam komunikasi publik berpotensi membuat masyarakat menjadi apatis. Imbasnya, komunikasi risiko terkadang tidak lagi ditanggapi dengan serius, apalagi untuk penyakit yang virulensinya rendah.

“Karena itu pemerintah juga harus hati-hati mengkomunikasikan hal ini pada masyarakat,” terang Masdalina.