News - Rentetan kasus perundungan tak ada habisnya memenuhi halaman depan koran ataupun media massa, dari tahun ke tahun, tak peduli era kemajuan internet menjelang.

Pada 2006, publik geger mendengar berita perundungan di Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) yang merenggut nyawa sejumlah korban. Pelakunya adalah mahasiswa senior alias kakak tingkatnya.

Tak peduli level pendidikannya, kasus perundungan berikutnya terus bermunculan. Pada 2024, masyarakat kembali heboh mendengar kematian tragis dokter Aulia Risma Lestari. Dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis di Universitas Diponegoro (Undip) tersebut bunuh diri akibat perundungan oleh dokter senior.

Perilaku kekerasan di institusi pendidikan seperti sekolah sebenarnya telah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Menurut pasal 54, sekolah harus menjadi zona anti-kekerasan. Ditambah lagi, ada aturan tentang perpeloncoan selama masa orientasi siswa yang sudah dilarang di Indonesia sejak 2016.

Meski bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, nyatanya, praktik perundungan masih jamak ditemukan. Beberapa di antaranya berbuah solusi eksklusif: menyekolahkan anaknya di rumah alias home schooling.

Nada Tania Putri, misalnya, gadis yang populer dengan bakatnya sebagai balerina di ajang Indonesia Mencari Bakat, memilih untuk melanjutkan pendidikannya melalui home schooling karena trauma perundungan yang dialami di masa SD.

Namun, problem banyaknya kasus perundungan pada siswa tidak seharusnya hanya diselesaikan dengan home schoolingyang eksklusif. Terlebih, pada masa pertumbuhan, anak-anak perlu banyak berinteraksi dengan sebayanya. Selain itu, solusi tersebut hanya bisa diupayakan oleh kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas.

Kasus Perundungan yang Tak Terbendung

Tak bisa dimungkiri, kasus perundungan sudah di level meresahkan dan bukan lagi isapan jempol belaka. Tak heran jika banyak orang tua yang mengkhawatirkan keselamatan anaknya di sekolah.

Survei UNICEF pada 2020 tentang kasus perundungan di Indonesia menyebutkan, dua dari tiga anak perempuan atau laki-laki berusia 13-17 tahun pernah setidaknya mengalami satu kekerasan dalam hidupnya.

Dua dari tiga anak dan remaja, yang pernah mengalami salah satu jenis kekerasan atau lebih, tersebut melaporkan bahwa pelaku perundungannya adalah teman atau sebaya.

Di samping itu, jajak pendapat yang dilakukan UNICEF (U-report) terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14-24 tahun menemukan, 45 persen remaja pernah mengalami perundungan daring. Tingkat pelaporan dari anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan: 49 persen berbanding 41 persen.

Sementara itu, jenis perundungan daring yang paling banyak terjadi, menurut 1.207 responden, berbentuk pelecehan melalui aplikasi chatting (45 persen), penyebaran foto atau video pribadi tanpa izin (41 persen), dan jenis pelecehan lain (14 persen).

Bukan hanya di Indonesia, perundungan di sekolah juga menjadi masalah serius di Korea Selatan (Korsel). Kasus perundungan di negara tersebut bahkan sudah berada di tingkat ekstrem, yang menyebabkan banyak korban bunuh diri.

Sebelum pandemi COVID-19, terdapat 30 ribu kasus perundungan per tahun. Jumlahnya sempat turun menjadi 8.357 kasus per tahun di era pandemi. Namun, selepas itu, saat kelas sekolah kembali dibuka, angkanya melesat menjadi 15.652 kasus, atau melonjak dua kali lipat dibanding tahun 2020.