News - Pria itu mengenakan pakaian necis untuk momentum yang suram. Sederhana dan berwibawa: setelan jas dengan dasi hitam, kemeja putih, juga sepatu hitam. Dilengkapi dengan topi bowler.

Dini hari, 30 Desember 1896, orang-orang berkumpul di Lapangan Bagambayan. Menghadap laut di tepi barat Manila, José Rizal, seperti ingin melancong ke karnaval di detik-detik akhir hidupnya.

Senapan meletus. Rizal ambruk. Seorang martir telah lahir sebagai pahlawan kemerdekaan Filipina. Rizal tewas dieksekusi pasukan tentara kolonial Spanyol karena dianggap pembangkang.

Letnan regu tembak sempat bertanya, apakah Rizal ingin menutup matanya dengan kain? Ia menolak. Rizal meminta ditembak dari arah depan. Ia hendak melihat pembunuh dan pelor yang akan menerjangnya secara langsung. Permintaan tak dikabulkan.

Ia ditembak dari belakang untuk menghinanya, agar wajahnya tersungkur ke tanah saat maut menjelang. Namun, ada pula yang menyebut saat tubuhnya hendak jatuh ke tanah, Rizal sekuat sisa tenaganya memutar badan. Barangkali hendak melihat untuk yang penghabisan, langit Filipina yang diperjuangkannya bebas dari penjajahan.

Hari pertama Desember 2024. Berjarak 128 tahun sejak José Rizal menjadi ikon kemerdekaan dan perlawanan bangsa Filipina atas cengkeraman penjajahan, Bagambayan telah berubah menjadi Luneta Park alias Rizal Park.

Saya berdiri di tempat Rizal dieksekusi mati pasukan kolonial Spanyol. Langit digelayuti kelabu sejak pagi. Siang itu, hujan rintik jadi teman perjalanan saya mengunjungi Rizal Park. Sunyi merambat di tempat tubuh mendiang Rizal ambruk.

Lokasi José Rizal ditembak mati pasukan Spanyol kini dinamai The Martyrdom of DR. Jose Rizal. Tempatnya di tepian Rizal Park, di sisi kanan patung figur José Rizal yang berdiri gagah di depan taman publik seluas 58 hektare.

Saksi bisu ini dilengkapi diorama. Ada patung Rizal yang seolah tumbang menyongsong maut. Di belakangnya, berbaris lima orang eksekutor pasukan Spanyol yang tengah mengangkat bedil.

Pepohonan tegap nan rindang yang melingkari titik maut itu seolah menghormati duka. Suasana hening, rinai tak henti menetes. Hanya ada dua pengunjung lain yang sibuk memotret.

Di sekeliling diorama eksekusi, terdapat beberapa patung lain yang menggambarkan momen terakhir Rizal. Relief pada tembok menuturkan kehidupannya sejak kecil hingga jadi “Si Nomor Satu Filipina”.