News - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik tiga menteri baru di akhir masa kepemimpinannya. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, yang jadinya hanya bekerja selama kurang lebih dua bulan. Terbaru, Jokowi juga melantik Menteri Sosial (Mensos), Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, dengan masa kerja kurang lebih sebulan.

Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai keputusan pergantian kabinet atau reshuffle di akhir masa jabatan Jokowi ini tak efektif untuk melanjutkan atau bahkan menuntaskan program yang ada di masing-nasing Kementerian. Sebaliknya, keputusan prerogratif Presiden itu justru merupakan pemborosan anggaran.

"Reshuffle ini tidak hanya tidak efektif, tetapi juga memboroskan anggaran negara. Bahkan dpat menimbulkan kesan bahwa penggantian menteri dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan negara," kata dia, saat dihubungi Tirto, Kamis (11/9/2024).

Bagaimana tidak, meski hanya bekerja selama 1-2 bulan, para Menteri tersebut akan mendapat gaji serta uang pensiun seumur hidup. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Menteri Negara dan Bekas Menteri Negara Serta Janda/Dudanya. Pada baleid itu disebutkan, menteri negara yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak menerima pensiunan.

"Langkah ini juga bisa menghemat anggaran negara yang semestinya tidak perlu dikeluarkan untuk pelantikan, pergantian staf, dan penyesuaian birokrasi lainnya," imbuh Achmad.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, uang negara yabg dikucurkan untuk pembayaran tunjangan dan pensiunan para pejabat negara yang bekerja dalam waktu sangat singkat itu hanya waste resources alias belanja yang mubadzir.

Dia pun mengutip Pasal 11 PP Nomor 50 Tahun 1980 yang mengatur tentang besaran uang pensiun, yakni 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap-tiap bulan masa jabatan. Besaran itu juga dengan ketentuan sekurang-kurangnya 6 persen dan sebanyak-banyaknya 75 persen dari dasar pensiun.

"Meski hanya 1-2 bulan menjabat, beban belanja negara untuk tunjangan dan hak pensiun menteri bisa dianggap wasted resources ya, belanja yang mubazir," ujar dia, kepada Tirto, Kamis (11/9/2024).

Menurut Bhima, keputusan pengangkatan Menteri-Menteri ini adalah hal yang tak tepat, ketika belanja pegawai saat ini telah mencapai RpRp460,8 triliun. Angka ini setara dengan 18 persen dari belanja pemerintah pusat.

Di saat ruang fiskal sempit, pemborosan anggaran dikhawatirkan akan semakin memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Jadi perlu pertimbangan belanja untuk tunjangan dan hak pensiun Menteri baru kelihatannya tidak jadi pertimbangan utama dalam reshuffle,” paparnya.