News - Ujung Kulon adalah salah satu taman nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Mula-mula Frederick Wilhelm Junghuhn--ahli botani asal Jerman yang dikenal atas studinya yang mendalam terhadap varietas flora dan fauna di Ujung Kulon--membuat laporan perjalanan serta pengamatannya yang terbit pada tahun 1846 dan langsung menjadi perhatian banyak ahli lain di Eropa.

Setelah itu, para saintis Eropa dengan berbagai bidang studi mulai banyak berdatangan ke Ujung Kulon, salah satunya Sijfert Hendrik Koorders yang giat mempromosikan konservasi populasi badak.

Atas keprihatinannya terhadap kondisi perburuan hewan eksotik di Ujung Kulon, Koorders lantas menginisiasi pendirian Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming) pada tahun 1912 dan berupaya mengadvokasi penetapan Ujung Kulon sebagai cagar alam.

Upaya Koorders baru membuahkan hasil pda 1921. Wilayah Ujung Kulon (luas: 37.599 ha) dan Pulau Panaitan (luas: 17.500 ha) dijadikan monumen alam (Natuurmonumenten) berdasarkan Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indië van 16 November 1921, No. 60, Staatsblad 1921. No 683.

Di luar sejarah perkembangan konservasi alam Ujung Kulon yang melegenda, ada kisah lain dari daerah ini, yakni sebagai pusat dari sebuah peradaban yang cukup penting di masa lalu. Letak geografisnya yang berada di Selat Sunda, menjadikannya sebagai tempat lalu-lalang kapal-kapal antarbangsa yang melintas.

Kisah kepurbakalaan di Ujung Kulon seluruhnya berpusat di satu pulau, yang menurut legenda masyarakat setempat menjadi titik nol keberangkatan peradaban mereka, yakni Pulau Panaitan atau Sanghyang Mahapawitra.