News - Menurut sesepuh sinefil, film yang bagus adalah film yang membuatmu terus berpikir tentangnya hingga jauh sesudah kamu selesai menontonnya. Pesan itu banyak benarnya. Lalu, menurut sekelompok film buff yang lain, sineas yang jarang menelurkan sebuah karya biasanya berpotensi lebih tinggi untuk menghasilkan film istimewa yang bakal diingat lama oleh penontonnya. Lagi-lagi, ini cukup tepat.

Saya menemukan perpaduan apik dari kedua faktor tersebut dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Pembesutnya, Yandy Laurens, hampir sama jarangnya membuat film seperti Ravi Bharwani, sutradara kontemporer misterius yang dianggap legendaris oleh sebagian kalangan.

Premis kisahnya sederhana: apa jadinya bila situasi jatuh cinta menerpa sepasang individu paruh baya yang sedang single? Yandy menjawabnya dengan permainan audio-visual-tekstual yang tampil secara eksplisit di layar dalam beberapa lapisan.

Sistematika filmnya terdiri atas delapan sekuens mengikuti pakem normatif yang menjadi standar umum bagi penulisan skenario di kelas-kelas produksi film. Tak mau kalah, saya memutuskan menulis resensi berikut menggunakan struktur tiga babak yang sangat populer.

Babak I: META

Meta di sini merujuk pada lapisan luar dari konstruksi utama narasi film. Sejujurnya, seluruh bangunan film ini bahkan bersifat meta mulai dari adegan pembuka hingga shot penutup.

Sifat meta pertama terletak pada metode penyajiannya. Jatuh Cinta Seperti di Film-Film pada dasarnya merupakan sebuah film komedi romantis tentang rancangan cerita film drama romantis yang kemudian difilmkan tapi tanpa sisi romantis sama sekali.

Semua karakter dalam film bukan fiktif sebab manusianya eksis di dunia nyata. Sekelumit episode kehidupan mereka dijiplak sedemikian rupa sebelum dituangkan ke format skenario.

Para protagonisnya, Bagus dan Hana, adalah bentuk referensi mikro nan kocak dari kehidupan nyata para aktor yang memerankan tokoh tersebut. Bagus Rahmat (Ringgo Agus Rahman) dipanggil “Gus”, sementara Hana (Nirina Zubir) dipanggil “Na”.

Interaksi pasangan suami istri yang menjadi sohib Bagus, Cheline (Sheila Dara Aisha) dan Dion (Dion Wiyoko), adalah gag yang sukses membuat terpingkal-pingkal setiap kali mereka berdua memperkenalkan diri.

Perihal formula delapan sekuens yang dijabarkan oleh Bagus kepada Hana yang ingin belajar menulis skenario layar lebar juga merupakan rujukan subtil mengenai komposisi cerita filmnya sendiri.

Yang lebih menarik, delapan sekuens yang disusun Bagus belumlah rampung. Dia menuntaskan skenarionya sembari durasi film berjalan. Dengan kata lain, progresi filmlah yang mendorongnya menyelesaikan kisah orisinil tersebut.

Lapisan luar ini tampaknya bertujuan untuk membuktikan dua hal. Pertama, apakah Bagus terjebak dalam keyakinan pribadinya bahwa medium film dapat membantu seseorang merasakan pengalaman atau menjadi orang lain sepenuhnya. Guna menjelajahi teritori psikologis tersebut, Bagus sampai “memperbantukan” aktor profesional (Dion Wiyoko memerankan Bagus Rahmat serta Julie Estelle menghidupkan Hana).

Ternyata ada beberapa umpan balik yang muncul dari aktor-aktor tersebut sehingga premis yang saya sebut sebelumnya terbukti—walaupun baru secara parsial. Sialnya, seluruh umpan balik terhadap kepribadian karakter Bagus sungguh amat negatif.

Sifat meta kedua terletak pada keputusan Bagus sang penulis untuk mengeksploitasi karakter Bagus dalam tulisannya secara gamblang yang memicu konsekuensi lumayan besar.

Tanpa sadar, Bagus sang penulis mulai mendasarkan segala keputusan menyangkut problematika kehidupan riilnya pada persepsi orang lain atas tindakan-tindakan karakter Bagus dalam skenarionya.

Kedirian empirik Bagus sang penulis tak pelak mengalami transisi menjadi kepribadian karakter Bagus di atas kertas. Andai kata Bagus di kertas bunuh diri, besar kemungkinan Bagus yang menulisnya pun akan melakukan tindakan serupa.

Saya lantas teringat dengan maha karya Ingmar Bergman bertajuk Persona (1960). Seorang individu menghabiskan waktu konfrontatif yang cukup lama secara intim dengan seorang yang lain hingga pada satu titik mereka berdua bertukar jiwa.

Yandy menampilkan ide pertukaran yang mirip. Hanya saja, dia memindahkan versi pertama seseorang yang stuck ke versi kedua dirinya sendiri yang masih bisa berlanjut dalam bentuk “sekuel”.

Maka sah-sah saja bila penonton kemudian memandang Bagus sebagai sosok hipokrit. Dia menyembunyikan ketidakmampuannya menyatakan cinta di balik pretensi “kejutan romantis” tatkala film yang berbasis pada skenarionya tayang kelak.

Lebih lanjut, Bagus menolak mengakui kelemahannya dengan bersikap apologetik. “Romansa ini hanya terjadi di kepala gue,” katanya sebelum membalikkan peluru yang serupa-tapi-tak-sama ke muka Hana.

Mengingat Yandy yang menulis skenario Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, bisa juga timbul pertanyaan iseng nan provokatif: apakah Bagus adalah versi lain dari Yandy? Dan sebagaimana Bagus hiding in plain sight melalui skenarionya, apakah Yandy sedang curhat secara estetik juga lewat filmnya?