News - Kondisi perekonomian global beberapa tahun terakhir menunjukkan potret buram. Tingkat suku bunga acuan melonjak, inflasi cukup tinggi, pertumbuhan ekonomi pun melambat. Hal tersebut turut berdampak pada perekonomian, termasuk industri peternakan nasional.

Meskipun demikian, JAPFA berhasil menorehkan kinerja yang positif. Perseroan mencatat penjualan bersih sebesar Rp51,18 triliun di tahun 2023 atau tumbuh sekitar 4,5 persen secara tahunan. Total aset perseroan juga naik dari Rp32,69 triliun pada 2022 menjadi Rp34,11 triliun pada 2023.

JAPFA mampu menunjukkan kapabilitasnya sebagai salah satu jawara di industri peternakan Tanah Air di tengah gempuran berbagai tantangan.

"Tantangan yang kami hadapi di antaranya kelangkaan dan tingginya harga bahan baku, melemahnya daya beli, serta tidak stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS" urai Kepala Divisi Keuangan Korporasi PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA), Putut Djagiri, Dalam acara public expose yang diselenggarakan di Pullman Hotel, Jakarta Barat, Rabu (3/4/2024).

Selain itu, Kepala Divisi Pengawasan Keuangan PT Japfa, Erwin Djohan, menambahkan lemahnya daya beli masyarakat menimbulkan masalah baru, yakni terjadinya kelebihan pasokan jumlah anak ayam yang baru menetas (day old chic).

"Tahun 2022 dan 2023 diwarnai volatilitas untuk harga ayam hidup (live bird). Selain itu, terjadi oversupply day old chick," jelas Erwin.

Untuk menghadapi risiko tahun ini, JAPFA memperkuat segmen hilir seperti melakukan ekspansi dan pengembangan pasar. Kemudian juga memperluas distribusi dengan melakukan penetrasi ke pasar tradisional, dan mengadakan program promosi untuk konsumen. Langkah ini terbukti berhasil mempertahankan pangsa pasar.

Strategi lain yang dilakukan oleh JAPFA adalah efisiensi beban tenaga kerja dan meningkatkan program digitalisasi. Perseroan mendorong karyawan untuk mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan teknologi.

Sepanjang 2023, JAPFA juga mempertajam fokus untuk meningkatkan komitmen perusahaan terhadap aspek keberlanjutan. Salah satunya, memanfaatkan Sustainability-Linked Load (SLL) dari Bank Negara Indonesia sebesar Rp1,425 triliun.

Perseroan telah membangun delapan dari sembilan fasilitas daur ulang air limbah dalam kurun waktu tiga tahun terkahir. Lalu, saat ini juga sedang menyempurnakan JAPFA Sustainability Reporting System (JSRS) dengan menambahkan cakupan data yang relevan, sehingga secara signifikan meningkatkan kelengkapan dan akurasi data.

Angin Segar di 2024

Tahun ini, perseroan berharap dapat kembali mencatatkan performa yang positif. Hal ini didorong kemampuan JAPFA yang berhasil menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Imbasnya terjadi kenaikan tren harga unggas hidup di pasaran.

"Kita tidak bisa mengukur pasti, yang jelas kombinasi antara keseimbangan supply dan demand itu menyebabkan harga live bird meningkat dibandingkan awal tahun lalu," ujar Head of Feed Division JAPFA, Budiarto Soebijanto.

Keseimbangan pasokan dan permintaan tersebut diproyeksi akan terus berlanjut di kuartal selanjutnya. Selain itu, Budiarto menyampaikan menurunnya harga bahan baku jagung juga diharapkan dapat menopang kinerja JAPFA pada 2024.

"Harga bahan baku terutama jagung sudah mereda. Yang tadinya melonjak ke harga Rp9.000 perlahan-lahan menuju angka Rp5.500, sudah normal. Ini mengurangi tekanan biaya pakan dan biaya produksi live bird," tutur Budiarto.

Lebih lanjut, industri ini juga akan memiliki prospek yang cerah beberapa tahun ke depan. Hal ini mempertimbangkan program yang diusung oleh Presiden Terpilih 2024, Prabowo Subianto, berupa program makan gratis tentu akan meningkatkan permintaan atas daging ayam dan olahannya.

"Ada satu program pemerintah yang cukup menarik yaitu perbaikan gizi pada middle income dan dunia pendidikan dengan memberi makan gratis. Apabila program ini dilakukan secara masif tentu memberi dampak positif bagi peternak maupun industri peternakan. Ini bisa meningkatkan demand terhadap daging ayam dan produk daging lainnya. Kami sangat mendukung itu," urai Budiarto.

Meskipun tahun 2024 membaik, Namun JAPFA tetap waspada akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. Sebab, masih ada sejumlah tantangan yang membayangi di tahun 2024 seperti ketegangan geopolitik yang mengganggu ekonomi global, rantai pasokan dan harga komoditas serta tekanan inflasi global.

Tantangan lain yang dihadapi di tahun 2024 adalah berubahnya pola konsumsi masyarakat pascapandemi COVID-19.

"Semua ini akan kita antisipasi dengan berbagai mencari peluang-peluang. Apakah tantangan ini bisa dihadapi? Saya optimisi bahwa tahun 2024 kondisinya secara umum lebih baik dari tahun sebelumnya," harap Budiarto.