News - Sepulang dari kantor, pada Rabu malam awal bulan lalu saya menghadapi sesak napas yang begitu dahsyat di dada kiri. Serangan itu sekonyong-konyong datang saat saya mengendarai motor, sampai akhirnya keringat dingin mengucur, dada semakin sesak, dan saya pingsan.

Dokter jaga di Unit Gawat Darurat (UGD) buru-buru memasangkan alat bantu pernapasan. Namun, upaya itu sia-sia. Saya tetap kesulitan bernapas, dada semakin terasa sakit. Pemeriksaan EKG untuk melihat aktivitas jantung dilakukan di tengah-tengah erang kesakitan. Akhirnya, perawat menyuntikkan obat anti-nyeri dan keadaan pun berangsur terkontrol.

“Jantung, lambung, paru-paru, dan tes darahnya bagus semua. Kamu sedang stres, ya?” tanya dokter kali itu, setengah menuduh.

Pada hasil diagnosis, dokter menuliskan saya terkena masalah pencernaan. Namun, saya ingat betul, hari itu saya sudah makan sampai tiga kali. Lagipula, saat itu gejala sakit dada tak disertai mual ataupun sakit perut. Lalu, saya pun merujuk pertanyaan terakhir dari sang dokter sebagai akar masalah: stres.

“Kalau sedang depresi memang bisa lari ke sakit fisik, lazim disebut psikosomatis,” kata dr. Achmad Saisal Sp. BTKV, spesialis bedah toraks dan kardiovaskular.

Beberapa penyakit akibat stres memang dapat menimbulkan gejala serupa serangan jantung. Salah satunya adalah Takotsubo Cardiomyopathy, atau lazim disebut broken heart syndrome. Kondisi saat stres ekstrem dapat menyebabkan kegagalan otot jantung. Tak seperti namanya yang sering diasosiasikan sebagai sakit akibat putus cinta, broken heart syndrome bisa disebabkan oleh beragam faktor yang memicu hormon stres mendadak melonjak tinggi.

Ada dua jenis penyebab stres yang mempengaruhinya. Pertama, stresor emosional seperti rasa sedih, takut, marah yang terlampau ekstrim layaknya kematian, penolakan, perpisahan, perceraian, berbicara di depan umum, atau bahkan kejutan, seperti menang undian. Yang kedua adalah stresor fisik, seperti serangan asma, diagnosis penyakit kronis, atau aktivitas fisik yang melelahkan.

Saya baru ingat, malam sebelumnya harus melepas pasangan pergi ke pulau seberang selama beberapa tahun. Dengan kata lain: saya sedang mengalami "broken heart" karena harus menjalani hubungan jarak jauh dengan suami alias LDR.