News - Sejak kemunculannya di Bandung tahun 1923, organisasi Persatuan Islam (Persis) sampai kini telah menghasilkan beberapa media berkala. Ada yang ditulis menggunakan bahasa Melayu, ada juga yang berbahasa Sunda.

Satu-satunya media berbahasa Sunda yang terbit sebelum masa kemerdekaan, yakni majalah At-Taqwa. Majalah ini diterbitkan sebulan sekali oleh Bahagian Tabligh Persatuan Islam. Nomor perdananya hadir tanggal 15 Desember 1936 dengan harga jual f 0.15.

Beralamat di Jalan Lengkong Besar 90, Bandung, At-Taqwa hanya dikelola oleh dua orang redaktur, yakni E. Abdurrahman bersama dengan O. Qamaruddin selaku penulis tetap.

Pada edisi perdana, selain menghadirkan sejumlah artikel keislaman, juga terdapat informasi ihwal dibukanya pesantren Persis pertama untuk laki-laki, laporan ringkas ceramah-ceramah para mubaligh di berbagai masjid Persis Cabang Bandung, serta berita-berita lainnya yang berkaitan dengan penyiaran Persis di Bandung.

Pada terbitan nomor dua 13 Januari 1937, terlihat sedikit perubahan dalam isi majalah. Semula At-Taqwa hanya diisi oleh tulisan-tulisan dari redaksi, tetapi kali ini redaksi menampilkan rubrik yang bernama Soal-Jawab.

Dalam rubrik ini para pembaca dari berbagai daerah mengirim pertanyaan seputar fikih, lalu dijawab langsung oleh redaksi. Salah satu pertanyaan yang muncul berasal dari Cikalong. Pertanyaan tersebut diarahkan pada keutamaan salat witir, apakah bisa dilakukan secara terpisah atau tidak.

Selain itu, pada edisi ini juga tampak satu tulisan Sukarno yang merupakan respons terhadap koran Pemandangan. Koran berbahasa Melayu itumemuat kabar miring tentang Sukarno karena disebut-sebut telah mendirikan Cabang Ahmadiyah di Kupang. Isu ini memang sudah terdengar ke khalayak pemuka Islam.

Kebetulan, kala itu Sukarno tengah menjalani pengasingan di Ende. Melalui majalah At-Taqwa Sukarno akhirnya memberikan keterangan bahwa ia tidak pernah aktif sebagai anggota Ahmadiyah. Dalam tulisannya, Sukarno juga menghaturkan terima kasih kepada Persatuan Islam, Ahmad Hassan, dan Ahmadiyah.

Menurut Sukarno, dirinya tidak memercayai sedikit pun ihwal Mirza Ghulam Ahmad yang diklaim sebagai nabi atau seorang mujadid seperti yang dipermasalahkan oleh Persis sendiri.