News - Proyek pembangunan PLTU di Jawa Barat terus menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu sebabnya adalah karena kebutuhan listrik Jabar lebih rendah ketimbang cadangan listrik PLN. Dengan kata lain, pasokan listrik di Jabar untuk saat ini sudah lebih dari cukup alias oversupply.

Persoalan oversupply listrik sebenarnya pun bukan khas Jabar. Data dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan per Juni 2023 menunjukkan bahwa cadangan daya listrik (reserve margin) di beberapa wilayah Indonesia sudah sangat tinggi.

Sistem Jawa-Bali memiliki cadangan listrik 44 persen, Kalimantan 57 persen, Sumatera 24 persen, Lombok 37 persen, dan Sulawesi Selatan 25 persen. Jika ditotal secara nasional, kelebihan pasokan listrik mencapai 6 GW dan itu memicu kekhawatiran serius.

Pasalnya, dampak finansial dari oversupply listrik itu tidak main-main. PLN diperkirakan akan menanggung kerugian sekitar Rp3 triliun per GW listrik yang tidak terpakai. Dalam kondisi saat ini, potensi kerugian PLN bisa mencapai Rp18 triliun per tahun.

Hitung-hitungan itu belum pula mencakup dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh PLTU. Sudah jamak diketahui bahwa PLTU beroperasi dengan sumber energi kotor dan tidak ramah lingkungan.

Jika tidak ada perubahan dalam perencanaan energi, oversupply listrik diproyeksikan akan melonjak hingga 41 GW pada 2030. Lonjakan itu jelas bakal memperburuk kerugian finansial dan kerusakan lingkungan.

Khusus untuk wilayah Jawa-Bali, oversupply listrik terjadi akibat penambahan kapasitas pembangkit yang masif (12.998 MW), sementara pertumbuhan permintaan listrik justru berjalan lambat. Jika seluruh kapasitas itu beroperasi, PLN akan dihadapkan pada kewajiban membayar setiap watt listrik yang diproduksi, meskipun penyerapan oleh pelanggan sangat rendah.

Sebaran PLTU di Jawa Barat dan Masalahnya

Direktur LBH Bandung, Heri Pramono, memaparkan bahwa saat ini ada empat PLTU yang beroperasi di Jawa Barat. Itu adalah PLTU Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi, PLTU 1 Indramayu, serta PLTU 1 dan 2 Cirebon.

Selain itu, ada dua PLTU lain, yaitu PLTU 2 Indramayu dan PLTU Tanjung Jati A, yang masih dalam tahap pembangunan dan belum beroperasi.

Kedua PLTU itu sempat kami gugat rencana keberadaan dan izin dampak lingkungannya. Sampai sekarang, pembangunan PLTU-nya masih belum bisa dilanjutkan,” ujar Heri dalam diskusi terbuka yang menyorot Proyek Strategis Nasional (PSN) di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung, Senin (3/2/2025).

LBH Bandung telah mengajukan gugatan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Isi gugatan itu adalah mengeluarkan PLTU Tanjung Jati dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Sebelumnya, upaya serupa juga dilakukan terhadap PLTU 2 Indramayu yang direncanakan berdaya 2.000 megawatt (MW). Lokasi pembangunan PLTU ini berdekatan dengan PLTU Indramayu 3 yang berdaya 330 MW.

Heri menegaskan bahwa gugatan itu diajukan karena izin pembangunan PLTU dikeluarkan tanpa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) dan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.

Warga sama sekali tidak mendapatkan informasi maupun kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan,” tegasnya.

Heri juga menyoroti dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh PLTU. Menurutnya, proyek tersebut tidak hanya merugikan lingkungan, tapi juga mengancam mata pencaharian warga setempat.

Selain merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar, pembangunan PLTU Indramayu juga mengganggu keberadaan petani di kawasan Patrol, Indramayu,” ujarnya.