News - Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama dengan Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB menggelar aksi demonstrasi di Gedung Annex ITB, Jumat (27/9/2024) siang. Aksi ini merupakan respons terhadap kebijakan kampus yang mewajibkan mahasiswa penerima beasiswa uang kuliah tunggal (UKT) untuk bekerja paruh waktu di kampus.

Dalam demonstrasi yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa tersebut, banyak dari mahasiswa mengungkapkan ketidakpuasan atas kebijakan baru yang dinilai memberatkan dan tidak melalui proses diskusi.

“Pekerjaan paruh waktu yang dilakukan oleh mahasiswa kepada ITB harus bersifat sukarela, tanpa paksaan, dan tanpa konsekuensi terhadap hal pengurangan UKT yang dimiliki mahasiswa,” ujar Ketua Kabinet KM ITB, Fidela Marwa Huwaida, Jumat (27/9/2024).

Setelah aksi demonstrasi, diadakan dialog terbuka antara Ketua Kabinet KM ITB, Fidela Marwa Huwaida, dan Rektor ITB, Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D.

Dalam pertemuan ini, mereka menyepakati kontrak politik yang terdiri dari tiga poin penting.

Pertama, ITB sebagai institusi pendidikan berkewajiban untuk memberikan hak keringanan UKT kepada mahasiswa yang membutuhkan.

Kedua, pekerjaan paruh waktu yang dilakukan oleh mahasiswa tidak boleh bersifat wajib, melainkan sukarela, dan tidak ada kaitannya dengan hak pengurangan UKT yang mereka terima. Lalu yang terakhir, ITB harus melibatkan mahasiswa dalam seluruh perumusan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan mahasiswa.

Sebelumnya, pihak ITB telah menginformasikan bahwa mahasiswa penerima beasiswa UKT diminta untuk mengisi informasi melalui tautan Google Form guna mendaftar 'magang' untuk membantu berbagai kebutuhan kampus.

Dalam hal ini, massa aksi menuntut agar pekerjaan paruh waktu dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan atau ancaman. Kerja paruh waktu yang dimaksud mencakup kerja administrasi, bantuan teknis di kampus, hingga menjadi asisten mata kuliah tanpa bayaran.

Melalui akun Instagram resmi @km.itb, terungkap bahwa setidaknya 5.500 mahasiswa dikirimkan surel untuk melakukan kerja paruh waktu tersebut. Dalam tanggapannya, Direktorat Pendidikan (Dirdik) ITB mengeklaim bahwa sistem kerja paruh waktu ini mencontoh sistem beasiswa yang diterapkan oleh National University of Singapore (NUS).

Namun mahasiswa ITB membantah, karena nominal, jenis, dan fasilitas beasiswa yang didapat pun jauh dengan beasiswa di NUS.

Lebih lanjut, pihak ITB mematok besaran UKT dengan nilai maksimum sebesar Rp12,5 juta per semester untuk seluruh mahasiswa, yang dirasa terlalu tinggi bagi banyak mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Akibat dari aksi demonstrasi ini, pihak ITB akhirnya merevisi kebijakan mereka.

Kini, kerja paruh waktu yang sebelumnya diwajibkan harus bersifat sukarela dan tidak berpengaruh terhadap beasiswa yang diterima mahasiswa. Kemenangan mahasiswa ITB ini pun diungkapkan melalui media sosial.

“Hari ini Keluarga Mahasiswa ITB menang! Perjuangan kami membuahkan hasil. Kebijakan dicabut dibuktikan dengan ditandatanganinya kontrak politik antara Rektor ITB dan Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB di atas materai. Kawal terus kebijakan Rektorat!” tulis akun Instagram @km.itb.