News - Suatu pagi, Arief Budiman datang ke sebuah rumah di Jalan Kemuliaan, dekat Glodok, Jakarta Barat. Di sana ada puluhan tahanan politik yang disekap. Salah satunya jurnalis senior, Mochtar Lubis. Pada awal 1966 itu, Arief menyempal sebentar dari kesibukan demonstrasi menentang Sukarno bersama sesama mahasiswa.

Arief, saat itu masih bernama Soe Hok Djin, aktif di ranah kebudayaan. Meski baru berusia 25 tahun, tulisan-tulisannya sudah tersebar di sejumlah majalah dan koran. Nah, ketika bertemu Mochtar Lubis, Arief menyampaikan gagasan perlunya menerbitkan majalah sastra yang bagus.

“Ternyata Bung Mochtar bereaksi terhadap kebutuhan mendirikan majalah kesusastraan. Dia berkata, bila dia keluar dari tahanan nanti, dia akan berusaha menghubungi kawan-kawannya untuk mendapatkan dana,” tulis kakak Soe Hok Gie tersebut di majalah Horison, Juli 1984.

Demonstrasi mahasiswa yang kian masif dan sebab-sebab lain memaksa Sukarno menyerahkan kekuasaan ke Jenderal Soeharto. Tak lama berselang, Mochtar Lubis dibebaskan. Ia menepati janji dan mengajak Arief berkeliling, menemui beberapa temannya.

Bantuan mengalir. Pengusaha Sukada menyediakan Rp10.000 untuk modal, sementara AH Shahab memberikan potongan harga di percetakan miliknya. Perusahaan yang dipimpin Hazil Tanzil meminjamkan 60 rim kertas.

Modal awal beres, selanjutnya mengurus perizinan. Saat itu masa transisi, Soeharto belum sepenuhnya berkuasa, sejumlah aturan masih dari masa Sukarno. Dalam formulir rekomendasi PWI, ada ketentuan bahwa penanggung jawab redaksi harus berjanji akan setia pada Manipol-Usdek. Mochtar Lubis menolak dan mencoret kata-kata tersebut. Arief dan beberapa temannya membujuk agar Mochtar Lubis melunak, mengatakan bahwa ini cuma formalitas.

Mochtar Lubis dikenal sebagai sosok tanpa kompromi, terutama terhadap dua hal: korupsi dan komunisme. Tak mengherankan jika ia dijuluki Si Kepala Granit.

“Kita mau mendirikan sebuah majalah kebudayaan. Karena itu kita harus merintis kebudayaan baru yang sehat. Tidak enak kalau kita mulai dengan menanda tangani sesuatu yang tidak kita setujui,” ujar Mochtar Lubis.

Formulir tersebut dibawa Arief ke Ketua PWI saat itu, Mahbub Djunaidi. Coretan ditunjukkan ke Mahbub dan bilang terserah saja penyikapan sang kolumnis. Ternyata Mahbub tidak mempermasalahkan.

“Ya, sudahlah kalau begitu maunya,” kata mantan pemimpin redaksi Duta Masyarakat tersebut.

Pada Juli 1966, majalah bulanan yang diberi nama Horison terbit. Horison No 1 dicetak 15.000 eksemplar. Mochtar Lubis menjadi penanggung jawab. Arief menjadi anggota Dewan Redaksi bersama HB Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, dan DS Moeljanto.

Majalah Horison

Majalah Horison. (FOTO/Wikipedia)

Pada lembar "Kata Perkenalan", Mochtar Lubis menyatakan majalah ini diluncurkan untuk memperjuangkan kembali nilai-nilai demokratis, kemerdekaan, dan martabat manusia Indonesia.

“Sesuai dengan namanja, Horison, kaki-langit, maka kami mengadjak Saudara2 pembatja supaja kita selalu menengok dan mentjari 'horison' baru, dalam arti supaja kita dengan sadar menghapuskan batas2 pemikiran, penelaahan, kemungkinan2 daja kreatif kita disemua bidang penghidupan bangsa kita,” tulisnya.

Edisi No 1 memuat sejumlah esai, puisi, dan cerita pendek. Salah satu puisi adalah karya Bertha Pantouw berjudul “Doa Seorang Ibu”.

Beberapa hari setelah Horison No 1 terbit, kantor redaksi geger. Budayawan Umar Kayam muncul dengan membawa majalah Reader’s Digest.

“Bung Jassin, ini ada titipan dari nyonya saya. Katanya sajak Bertha Pantouw, 'Doa Seorang Ibu' yang bung sorot dalam Horison No 1 lalu, ternyata banyak persamaan dengan karangan Douglas Mac Arthur yang judulnya 'A Soldier’s Prayer for His Son',” ujar Kayam seperti dikutip DS Moeljanto dalam Horison Juli-Agustus 1976.

Semua yang mendengar kaget. Jassin langsung membandingkan dua sajak tersebut. Beberapa hari kemudian, sejumlah surat pembaca masuk dan menggugat hal yang sama. Bahkan, di Harian Merdeka, terbit tulisan yang membahas temuan itu.

Pada Horison No 2, redaksi membuat catatan dan memuat surat Bertha Pantouw yang meminta maaf karena “sangat terpengaruh dan didjiwai oleh sadjak 'A Soldier’s Prayer for His Son' maka karena itu akan kami transferkan kembali akan ide tersebut.”