News - "Kami menjumpai catatan-catatan dari penulis-penulis kuno, tentang pengecoran meriam besar-besaran di wilayah kekuasaan Achin, dan dapat dipastikan bahwa senjata api dan juga keris saat ini diproduksi di negeri Menangkabau."

Kutipan catatan William Marsden dalam The History of Sumatra (1811) mengenai produksi senjata api yang masif di Achin (Aceh) dan Menangkabau (Minangkabau) hanyalah puncak gunung es dari perkembangan teknologi kesenjataan di dunia Melayu kala itu.

Melalui pencatatan itu pula, bisa diambil suatu sampel bagaimana dua etnis di dunia Melayu ternyata memiliki keahlian yang berbeda dalam pengembangan teknologi senjata api.

Apabila di Aceh meriam-meriam besar dibuat atas pengaruh Kesultanan Utsmaniyah sejak abad ke-17, maka di Ranah Minang senjata-senjata laras panjang bertipe matchlock (senapan sundut)yang justru diproduksi secara massal. Senapan ini kelak dikenal sebagai Istinggar Minangkabau.

Istinggar berhulu ledak mirip tali atau kabel yang dibakar pada sumbu mesiu. Senjata ini kali pertama dibawa ke Nusantara oleh para penjelajah Portugis yang mulai menduduki Malaka pada 1511.

Istinggar sebagaimana disebut oleh W.H.D.W. Hasbullah dan O.M. Yatim dalam "Teknologi Istinggar: Beberapa Ciri Fizikal dalam Aplikasi Teknikalnya" (2013) berasal dari kata Portugis "espingarda" yang berarti "senjata api".

Walaupun nama serapan Portugis ini tersohor di kalangan orang Melayu di Sumatra dan Semenanjung Malaya, di beberapa tempat istinggar disebut juga "senapang" sebagai adaptasi dari kata bahasa Belanda "esnapaan". Di Jawa dan sebagian lain orang Melayu, istinggar dihubungkan dengan istilah "bedil" yang lebih populer.

Dalam sejarah sosial Melayu, istinggar memiliki tempat yang spesial di hati masyarakat. Meski diperkenalkan sejak abad ke–16 oleh para kolonialis Portugis, istinggar ternyata masih eksis sampai tiga abad setelahnya.

Berita kolonial Inggris di Malaya tidak padam-padamnya memberitakan bagaimana orang Minang senantiasa menyelundupkan senjata ke wilayah jajahannya.