News - Dalam pertarungan politik kontemporer, partai politik menempati posisi yang paling sentral. Presiden Indonesia hanya dapat dicalonkan lewat rekomendasi partai politik dengan batas bawah perolehan suara tertentu (presidential threshold).

Sepanjang lintasan sejarah, corak, wujud, dan jumlah partai politik di Indonesia selalu berubah-ubah. Dalam dinamika itu, arti penting partai politik juga mengalami pasang surut. Namun demikian, seperti sempat diungkapkan Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), kedudukan partai politik pada suatu periode dapat menunjukkan tingkat demokratisasi negara pada periode itu.

Dengan demikian, kedudukan partai politik yang mengalami kemerosotan pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965) atau Orde Baru (1966/67–1998) mengindikasikan tingkat demokratisasi yang rendah.

Partai politik yang jadi tolok ukur demokrasi seharusnya ditempatkan dalam posisi menonjol dalam pembahasan sejarah. Namun, seperti sempat diungkapkan Daniel S. Lev lewat artikelnya “Political Parties in Indonesia” dalam Journal of Southeast Asian History (Vol. 8, No. 1), pembahasan mengenai partai politik dalam studi kesejarahan Indonesia masing sangat kurang.

Kelahiran partai-partai politik yang paling awal di Indonesia dapat ditarik mundur hingga akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Setelah mengalami kemandekan sejak sekitar akhir perlawanan Pangeran Diponegoro (1830), perlawanan terhadap sistem kolonialisme Belanda baru bangkit lagi pada akhir abad ke-19. Abad tersebut menyaksikan setidaknya tiga perubahan haluan pemerintah kolonial Belanda.

Ketika Jawa berhasil dipasifikasi pada 1830, pemerintah kolonial melakukan reformasi ekonomi dengan mencanangkan sistem tanam paksa yang menggusur sistem tanam tradisional petani Jawa yang subsisten—mengusahakan tanah sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal.

Kritik pertama terhadap sistem ini datang pada 1860 lewat roman satir Max Havelaar. Perubahan yang dibawa oleh novel karangan Eduard Douwes Dekker ini menghadirkan pembukaan pintu investasi swasta asing ke tanah jajahan. Pada periode ini, sekalipun sistem liberal justru semakin meningkatkan eksploitasi tanah jajahan, muncul pula minat akademik terhadap tanah jajahan. Pulau Jawa setidaknya banyak diteliti dari berbagai segi ilmu pengetahuan.

Dalam Antara Lawu dan Wilis (2021), mantan Residen Madiun (menjabat 1934–1938), Lucien Adam, menyajikan berbagai penelitian dalam bidang kehutanan, kesusastraan, arkeologi dan lainnya yang dilakukan oleh ilmuwan dan ahli purbakala seperti K.F. Holle yang menjelajah Jawa dan meneliti berbagai peninggalan kuno.